Republika, 30 Desember 2017
2018 Tahun PSR
Leila Mona Ganiem
Akademisi dan Komisioner KKI
Jika
selama ini masyarakat mengenal Corporate
Social Responsibility (CSR), kini
setiap orang perlu mengenal PSR dan menjadikannya sebagai gaya hidup.
Apa
itu PSR? Personal Social Responsibility, atau Tanggung Jawab Individu pada
masyarakat atau lingkungan merupakan ide personal dari CSR.
PSR
bukan hal baru. Rasulullah mengingatkan, "sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain". Tidak hanya Islam, semua
agama pasti mengajarkan berbuat baik pada orang lain.
PSR adalah bentuk altruisme yaitu tindakan
sukarela untuk membantu orang lain tanpa pamrih kecuali kenyamanan hati karena telah
memberikan suatu kebaikan. PSR adalah bentuk kesediaan untuk meletakkan
kepentingan orang lain diatas kepentingannya sendiri. August Comte, filsuf
Perancis abad ke 18, percaya bahwa individu
memiliki kewajiban moral untuk berkhikmat bagi kepentingan orang lain atau
kebaikan manusia yang lebih besar.
PSR
dapat diekspresikan dalam beragam macam baik menggunakan uang, pikiran, tenaga,
waktu atau perasaan.
Ibu
Een, pejuang pendidikan asal Sumedang, semasa hidup dalam keadaan lumpuh dan
terbaring lantaran penyakit Rheumatoid
arthritis (RA), tetap memberi manfaat dengan mengajar pada anak-anak di
lingkungannya. ini adalah bentuk PSR.
Pak Sariban, 74 tahun, menyapu sampah
menggunakan sepeda bahkan bersuara lantang di depan pengunjung di berbagai
kerumunan di Bandung, membawa pesan menjaga kebersihan. Dia dengan sabar menarik paku yang
melukai pohon hingga terkumpul lebih dari 15 karung.
Wiwin, kelas 9, sudah 5 bulan ini memilih merawat 10 pot tanaman di sekolah,
menyirami dan memastikan tanaman tersebut subur. Siswa lain, Tri, mengingatkan teman sekolahnya
untuk menyempatkan shalat dhuha ketika istirahat sekolah.
Dr. Rita menggunakan waktu satu jam untuk
memberi panduan mengenai cara hidup sehat di beberapa arisan di Surabaya,
setiap bulannya.
Mengantarkan tetangga ke dokter-membantu
pengurusan administrasi RS- menghibur orang sakit, membiayai pendidikan
seseorang, membantu warga senior
menyeberang jalan dengan aman, menjadi
komite sekolah yang kontributif, memindahkan kulit pisang di jalanan ke tempat
sampah, membuat flyer tips bijak ber-media sosial, mengisi
batu pasir pada jalanan berlubang di sekitar rumah, adalah bentuk kreatif lain dari PSR.
Bayangkan, Indonesia akan menjadi negara besar
dan kuat ketika PSR memandu keseharian warganya. Semua saling memikirkan orang
lain, sebesar apapun kontribusinya,
selalu menyelipkan kemaslahatan orang lain dalam tindaknya tanduknya. Tidak hanya memikirkan
kepentingannya sendiri!
Sesungguhnya PSR adalah jiwa bangsa Indonesia. Bung Karno dengan lantang
menyebut Ekasila sebagai prinsip substantive kehidupan kebangsaan adalah ‘Gotong Royong’.
Melalui PSR, kesadaran bergotong royong
ditumbuhsuburkan. Masing-masing
mengkonstribusikan sebagian dari dirinya untuk membuat perbaikan dan
kesejahteraan bersama.
Pelajaran dari nenek moyang kita juga gotong
royong dalam keseharian mereka. Itulah yang menjadi fondasi kuat masyarakat
kita yang kolektifis. Menjaga hubungan baik, mengikatkan diri dalam
persaudaraan, kasih sayang dan tolong menolong untuk kebaikan. Solidaritas dan
kebersamaan meningkat, persatuan dan kesatuan kian kukuh, saling meringankan,
menghasilkan produktifitas kerja yang baik serta meningkatkan ketakwaan pada Tuhan
YME.
Dalam buku PSR yang
kami tulis (Ganiem, Ambadar, Soekardjo, 2015), kami meyakini bahwa PSR dapat
terlaksana ketika ada ketulusan, sukarela dilakukan berdasarkan kepedulian
untuk membawa manfaat bagi orang lain atau masyarakat. PSR juga dapat dilakukan
oleh siapa saja, orang sakit sehat, tua muda, profesi apa saja. Ketika orang
lain berbuat kebaikan, hukum alamnya adalah perbuatan baik itu menular. Pak Sariban
yang menyuarakan kebersihan, menginspirasi para relawan kebersihan untuk
berbuat yang sama.
Kontribusi dari PSR
semakin berlimpah ketika melalui PSR,
setidaknya ada enam karakter yang terbentuk dengan menjalankan PSR.
Tanggung jawab, Toleransi, bersahabat/komunikatif, peduli lingkungan, peduli
sosial, tanggung jawab dan relijius.
Sesuai kebijakan
nasional, pembangunan karakter bangsa
adalah tugas bersama, maka seluruh ranah dapat bersinergi.
Misalnya, sebagai
pendidikan pertama dan utama dalam kehidupan manusia, keluarga sangat layak
mendukung PSR dengan cara setiap anggota keluarga memiliki agenda PSR yang
ditujukan bukan untuk keluarga inti, tapi untuk masyarakat yang lebih luas. Pembiasaan
PSR di keluarga penting karena sebagai
penghayat nilai, pembentukan kesadaran
‘aku’ manusia yang membawa manfaat, harus
dibangun, ditumbuhkembangkan pertama kali melalui pengasuhan, contoh dan
pengalaman belajar di rumah.
Lembaga pendidikan
dari TK, bahkan Paud hingga perguruan tinggi, dapat menyentuh syaraf peserta
didik dengan PSR yang dalam konteks pendidikan dikenal sebagai pengabdian
masyarakat.
Dunia usaha dan
industri, dapat mengkombinasikan PSR dengan CSR. Menyentuh syaraf yang tepat
dari para karyawan untuk berbagai
kebaikan pada sesame diantara waktu yang dimiliki dalam berbagai keahliannya.
Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh PNS di lingkup pemerintah dan
masyarakat politik.
Lembaga sosial
kemasyarakatan yang telah membaktikan diri untuk masyarakat, diharapkan dapat
menularkan terus virus PSR bagi masyarakat agar dampak duplikasi dari PSR dapat
dirasakan lebih cepat dan luas.
Terakhir, para insan
media dapat menjalankan PSR dengan sangat berkualitas ketika menyadari bahwa
pesan yang mereka produksi dapat memengaruhi masyarakat. Kita tahu, yang
mengontrol media memiliki peluang mengontrol pikiran. Karenanya, duplikasi kebaikan dapat disebarkan
secara optimal melalui media massa.
Sebagai penutup, 2018 adalah tahun yang tepat
untuk kita semua, warga negara Indonesia, menjadikan PSR sebagai gaya hidup
karena PSR ‘memanusiakan’ kembali
manusia yang mengalami dehumanisasi karena berbagai terpaan kehidupan. PSR juga
dapat berperan signifikan untuk mewujudkan cita-cita luhur pendahulu kita,
yaitu Indonesia negara sejahtera adil dan makmur.