MABUK GAWAI SAAT LEBARAN
Terbit di Republika, 11 Juni 2018
Oleh: Leila Mona Ganiem
Waketum ISKI dan Komisioner KKI
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTlR1n39o28fAek-Ht78kV3iY4ETY7c2oT485s1LkURb8ApcIDT
Apa
yang terjadi jika silaturahim yang seharusnya meningkatkan kualitas interaksi
antar manusia, malah menguranginya. Lucunya,
stimulus perenggang adalah sebuah benda yang dianggap solusi dalam
menghubungkan manusia, yaitu gawai atau gadget.
Di
Indonesia dan beberapa negara muslim, mudik lebaran, yang dalam kerepotan
apapun serta berbiaya tinggi, masih tetap diupayakan. Tujuan mudik adalah untuk
bersilaturahim dengan sanak famili dan kerabat.
Ironisnya, manakala momen kebersamaan yang dinanti-nantikan ini, malah terganggu,
lantaran adanya mabuk gawai.
Apa sebenarnya Mabuk
Gawai atau Phubbing yang menjadi masalah
global abad ke 21 ini.
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQElrxWjla5z5M7qELqIP5sqfQnUvYlLG_niySJid0gHEF6VvHG
Phubbing adalah kata
baru yang dilahirkan oleh pakar bahasa (ahli leksikon, phonetic), ahli debat, budayawan,
dan sosiolog, sekitar enam tahun silam
di Australia. Asal
kata Phubbing adalah dari phone dan snubbing (tidak peduli). Film A Word
is Born merekam keseluruhan proses penciptaan istilah baru ini dan menjadi
iklan untuk kamus bahasa Inggris-Australia, Macquarie. Karena dunia butuh kata baru ini, maka dalam
setahun saja, kata Phubbing telah
diterima di lebih dari 180 negara.
Di
Indonesia, Badan Bahasa Kemendikbud menerjemahkan Phubbing dengan kata ‘Mabuk Gawai’. Kata ini adalah penjelasan dari
sikap cuai atau abai terhadap lawan bicara atau lingkungan sekitar karena
terlalu asyik menggunakan gawai.
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTFy0fpyEnGEoWWG63DFgDu7BXfgLPfzX0mSHG-pa5Ok4Iv6UxBCw
Saat
bersilaturahim sambil mabuk gawai, maka kita tidak mampu mendengar apa yang
disampaikan lawan bicara. Akibatnya
kurang paham substansi percakapan dan sulit merespon, atau akan menjawab dengan
singkat ‘ya’. Berkurangnya interaksi manusia dan terbatasnya keterlibatan
antarpribadi ini membuat perjumpaan menjadi tidak bermakna dan hambar, orang
merasa diabaikan, tersinggung, empatinya tergerus, simpatinya tumpul, anti-sosial
dan menimbulkan kematian percakapan.
Sesungguhnya
sejak 1962, Herbert Marshall McLuhan, ilmuwan komunikasi asal Kanada, telah
memprediksi bahwa manusia cenderung serius mengupayakan teknologi dengan
harapan dapat menyelesaikan masalah kehidupan, tapi teknologi tersebut malah
menghancurkan kita.
Kita
juga mengakui bahwa eksistensi manusia sangat dipengaruhi oleh moda
komunikasi. Dulu bertemu langsung, kini kita dapat menjangkau, bercanda dan
bertukar pikiran dengan orang jauh, kapan saja, dimana saja, seketika itu,
dengan gawai.
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSg9mwOcuE1KgvsZuxbJSQoIHjsvqqkIqHhZZy2uTNJlYwZaGYD
Meski
banyak hal positif dari penemuan gawai, secara perlahan dan pasti, alat ini menjauhkan
sesama manusia. Keberisikan percakapan
dari dunia nyata yang telah lama ada, kini beralih ke dunia maya. Serasa ada
orang ketiga pengganggu dalam hubungan antarpribadi. Dan sayangnya, individu lebih berminat terhubung
dengan orang ketiga tersebut.
Buktinya, konsumsi waktu kita untuk gawai lebih banyak dari
kegiatan apapun. Saat bertemu kerabat,
tiap dua menit mata melirik ke gawai
memastikan apakah ada pesan masuk, membaca atau mengetik pesan. Sebelum memakan
hidangan di restoran, malah sibuk memotret dahulu. Sambil mendengarkan khotbah
lebaran, sibuk memainkan gawai untuk update status di medsos, ngobrol (chatting), berselancar di dunia maya,
main games, atau sekedar menikmati lelucon.
https://image.slidesharecdn.com/nomophobia-film260-150612191055-lva1-app6891/95/nomophobia-are-you-addicted-to-your-smartphone-1-638.jpg?cb=1434136428
Ada lagi penyakit yang timbul lantaran mabuk gawai. Nomophobia (no-mobilephone phobia), kecemasan akibat
tidak membawa ponsel. Sepuluh tahun
lalu, penyakit baru ini mewabahi lebih dari 66% penduduk dunia. Kelainan psikologis ini muncul ketika
seseorang takut kehilangan informasi akibat tidak membawa gawai. Kepanikan
akibat nomophobia ini membuat jiwa seseorang tidak sehat.
Dalam konteks kehidupan rumah tangga atau hubungan romantis,
penelitian dari Hankamer School of Business dari Baylor University, Texas,
menyimpulkan bahwa kebiasaan tidak mengindahkan lawan bicara dan lebih fokus
pada gadget akan merusak hubungan romantis dan meningkatkan
kecenderungan depresi karena kepuasan hidup akan menurun. Pasangan cenderung
khawatir karena diabaikan, lalu berkonflik dan tidak puas dalam hubungan,
selanjutnya merasa hidupnya tidak memuaskan dan depresi. Itulah mengapa institusi
perkawinan berada dalam kondisi yang rentan bahkan penyebab sekitar 40-50% dari
berakhirnya rumah tangga dan hubungan romantic lantara mabuk gawai.
Sebagai solusi, sosok
panutan umat manusia, Rasulullah SAW, memberikan contoh cara berinteraksi. Ketika seseorang bercerita, maka beliau akan diam
dan benar-benar mendengarkan, meskipun beliau pernah tahu cerita tersebut. Saat
lawan bicara tertawa, Rasulullah ikut tertawa. Jika orang tersebut takjub
dengan yang sedang dibicarakan, Rasulullah ikut takjub. Bahkan beliau mengekspresikan semangat yang
lebih tinggi ketika duduk dengan orang
yang bersemangat bercerita.
Suatu ketika, manakala perhatian Rasulullah terpaling pada
sebuah cincin indah yang dikenakannya, maka Rasulullah segera melempar cincin
itu untuk kembali berfokus pada lawan bicaranya. Rasulullah berupaya agar tidak
melakukan tindakan yang mengganggu konsentrasi orang yang sedang berbicara pada
nya.
Belajar dari sosok panutan umat, Rasulullah, agar tujuan
silaturahim menjadi tercapai, mari kita nikmati momen lebaran dengan kemenangan
menundukkan hawa nafsu duniawi, yaitu hindari mabuk gawai. Ini juga merupakan
salah satu bentuk kemenangan sejati.