Dilema Fakultas Kedokteran Baru
Harian Republika
Kamis, 12 Mei 2016, 14:00 WIB
Selama satu dekade, antara 2006 sampai 2016, terbukti ada 356 kasus kelalaian mediks--biasa disebut malapraktik--menurut Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Kelalaian tersebut membuat kerugian psikis dan fisik bagi korbannya.
Ini, belum lagi kasus yang tak dilaporkan atau tak diselesaikan tuntas. Wajar jika dari hulu sampai hilir, dari pendidikan kedokteran sampai rumah sakit, profesi kedokteran termasuk salah satu profesi yang punya regulasi paling tegas di dunia.
Pendidikan kedokteran seyogianya harus berkualitas. Fakultas kedokteran (FK) di Indonesia harus punya visi dan misi yang mampu menerjemahkan keperluan lokal, nasional, dan global; dosen bermutu, kurikulum, dana, sarana, dan prasarana.
Realitasnya, dari 75 FK negeri maupun swasta yang saat ini ada, baru 23 persen menyandang akreditasi A. Selebihnya, akreditasi B (37 persen) dan akreditasi C (40 persen).
Belum lagi selesai pembinaan untuk meningkatkan akreditasi FK--yaitu dari akreditasi C ke B dan dari B ke A--pada akhir Maret 2016, Kemenristekdikti memberi izin dibukanya delapan FK baru. Jika demikian, bagaimana memastikan penjaminan mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat?
Ketika tidak masuk seleksi FK favorit, karena ingin menjadi dokter tak jarang masyarakat memilih FK mana saja asal diterima. FK yang kurang berkualitas sangat mungkin tidak ketat dalam proses seleksi mahasiswa.
Jumlah mahasiswa berdampak pada kualitas lulusan. Jika mahasiswa FK berlebih, mereka akan kekurangan pasien sebagai kasus untuk berlatih di rumah sakit pendidikan. Akibatnya, mereka kurang terampil. Sebelum 1990-an, mahasiswa kedokteran bisa terlibat dalam sepuluh kasus melahirkan. Sekarang, tidak jarang satu pengalaman pun sulit.
Untungnya, sejak 2007, untuk menjadi dokter seseorang tidak sekadar lulus FK. Ia juga harus memiliki kemampuan standar melalui uji kompetensi. Hanya mereka yang memiliki ijazah dari FK dan FK gigi serta lulus uji kompetensilah yang diberi hak melayani masyarakat.
Jaminan bahwa dokter dan dokter gigi kompeten diwujudkan dengan diberikannya Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia--lembaga negara yang diamanahkan melindungi masyarakat dan mengawal mutu profesi dokter dan dokter gigi melalui pengaturan dokter dan dokter gigi.
Masalahnya, kesenjangan kelulusan uji kompetensi bervariasi antara 20 persen hingga 97 persen. Peserta dari FK yang berakreditasi A memiliki tingkat kelulusan lebih dari 90 persen. Sebaliknya, banyak peserta dari FK berakreditasi C tidak lulus.
Karenanya, untuk menjaga mutu pendidikan kedokteran, FK diberi jatah menerima peserta didik dalam jumlah tertentu, bergantung akreditasi dan jumlah kelulusan uji kompetensi mereka.
Mahasiswa yang tidak lulus uji kompetensi perlu belajar lagi dan diuji lagi hingga lulus. Mahasiswa dari FK berakreditasi C tidak jarang mengikuti ujian berkali-kali, bahkan belasan kali. Pada 2015 uji kompetensi dibatasi hanya tiga kali. Jika belum lulus juga, mereka harus mengubur hasrat menjadi dokter atau dokter gigi dan memilih profesi lain.
Bagaimana menyikapi kondisi ini. Layanan kesehatan merupakan hak asasi manusia menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Layanan kesehatan seyogianya berpijak pada prinsip kemaslahatan terbaik bagi masyarakat, bukan didasarkan pada pertimbangan politik atau keperluan ekonomi.
Belajar dari pengalaman kerapnya mahasiswa gagal lulus uji kompetensi, Konsil Kedokteran Indonesia bersama stakeholder-nya menyepakati dua cara. Pertama, perbaikan mutu di institusi pendidikan kedokteran, sehingga dapat menghasilkan dokter yang kompeten dan profesional. Kedua, moratorium terhadap pembukaan FK.
Karenanya, sangatlah strategis jika pemerintah meninjau kembali pembukaan FK baru, terutama yang belum memiliki standar yang meyakinkan dalam menjalankan pendidikan kedokteran. Selanjutnya, pemerintah berfokus untuk membina FK lama agar lebih baik.
Bagi calon mahasiswa dan orang tua, ada baiknya berhati-hati memilih FK. Hal ini karena tidaklah menyenangkan jika impian menjadi dokter berakhir dengan beban berkepanjangan.
Sepakat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan kedokteran, kita semua mengidamkan dokter dan dokter gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan berjiwa sosial tinggi.
Semua itu perlu upaya bersama untuk mewujudkannya.
Leila Mona Ganiem
Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia, Perwakilan Masyarakat
Ini, belum lagi kasus yang tak dilaporkan atau tak diselesaikan tuntas. Wajar jika dari hulu sampai hilir, dari pendidikan kedokteran sampai rumah sakit, profesi kedokteran termasuk salah satu profesi yang punya regulasi paling tegas di dunia.
Pendidikan kedokteran seyogianya harus berkualitas. Fakultas kedokteran (FK) di Indonesia harus punya visi dan misi yang mampu menerjemahkan keperluan lokal, nasional, dan global; dosen bermutu, kurikulum, dana, sarana, dan prasarana.
Realitasnya, dari 75 FK negeri maupun swasta yang saat ini ada, baru 23 persen menyandang akreditasi A. Selebihnya, akreditasi B (37 persen) dan akreditasi C (40 persen).
Belum lagi selesai pembinaan untuk meningkatkan akreditasi FK--yaitu dari akreditasi C ke B dan dari B ke A--pada akhir Maret 2016, Kemenristekdikti memberi izin dibukanya delapan FK baru. Jika demikian, bagaimana memastikan penjaminan mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat?
Ketika tidak masuk seleksi FK favorit, karena ingin menjadi dokter tak jarang masyarakat memilih FK mana saja asal diterima. FK yang kurang berkualitas sangat mungkin tidak ketat dalam proses seleksi mahasiswa.
Jumlah mahasiswa berdampak pada kualitas lulusan. Jika mahasiswa FK berlebih, mereka akan kekurangan pasien sebagai kasus untuk berlatih di rumah sakit pendidikan. Akibatnya, mereka kurang terampil. Sebelum 1990-an, mahasiswa kedokteran bisa terlibat dalam sepuluh kasus melahirkan. Sekarang, tidak jarang satu pengalaman pun sulit.
Untungnya, sejak 2007, untuk menjadi dokter seseorang tidak sekadar lulus FK. Ia juga harus memiliki kemampuan standar melalui uji kompetensi. Hanya mereka yang memiliki ijazah dari FK dan FK gigi serta lulus uji kompetensilah yang diberi hak melayani masyarakat.
Jaminan bahwa dokter dan dokter gigi kompeten diwujudkan dengan diberikannya Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia--lembaga negara yang diamanahkan melindungi masyarakat dan mengawal mutu profesi dokter dan dokter gigi melalui pengaturan dokter dan dokter gigi.
Masalahnya, kesenjangan kelulusan uji kompetensi bervariasi antara 20 persen hingga 97 persen. Peserta dari FK yang berakreditasi A memiliki tingkat kelulusan lebih dari 90 persen. Sebaliknya, banyak peserta dari FK berakreditasi C tidak lulus.
Karenanya, untuk menjaga mutu pendidikan kedokteran, FK diberi jatah menerima peserta didik dalam jumlah tertentu, bergantung akreditasi dan jumlah kelulusan uji kompetensi mereka.
Mahasiswa yang tidak lulus uji kompetensi perlu belajar lagi dan diuji lagi hingga lulus. Mahasiswa dari FK berakreditasi C tidak jarang mengikuti ujian berkali-kali, bahkan belasan kali. Pada 2015 uji kompetensi dibatasi hanya tiga kali. Jika belum lulus juga, mereka harus mengubur hasrat menjadi dokter atau dokter gigi dan memilih profesi lain.
Bagaimana menyikapi kondisi ini. Layanan kesehatan merupakan hak asasi manusia menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Layanan kesehatan seyogianya berpijak pada prinsip kemaslahatan terbaik bagi masyarakat, bukan didasarkan pada pertimbangan politik atau keperluan ekonomi.
Belajar dari pengalaman kerapnya mahasiswa gagal lulus uji kompetensi, Konsil Kedokteran Indonesia bersama stakeholder-nya menyepakati dua cara. Pertama, perbaikan mutu di institusi pendidikan kedokteran, sehingga dapat menghasilkan dokter yang kompeten dan profesional. Kedua, moratorium terhadap pembukaan FK.
Karenanya, sangatlah strategis jika pemerintah meninjau kembali pembukaan FK baru, terutama yang belum memiliki standar yang meyakinkan dalam menjalankan pendidikan kedokteran. Selanjutnya, pemerintah berfokus untuk membina FK lama agar lebih baik.
Bagi calon mahasiswa dan orang tua, ada baiknya berhati-hati memilih FK. Hal ini karena tidaklah menyenangkan jika impian menjadi dokter berakhir dengan beban berkepanjangan.
Sepakat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan kedokteran, kita semua mengidamkan dokter dan dokter gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan berjiwa sosial tinggi.
Semua itu perlu upaya bersama untuk mewujudkannya.
Leila Mona Ganiem
Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia, Perwakilan Masyarakat