Terbit di Harian Republika dan Republika Online Rabu, 23 Maret 2016, 17:00 WIB
Tokoh Perubahan dan PSR
Leila Mona Ganiem
Menteri Rudiantara, TGH Hasanain Juaini, Hotlin Ompusunggu, Nadiem Makarim, dan Slank tahun ini dianugerahi penghargaan sebagai Tokoh Perubahan 2015 oleh harian Republika.
Alasannya, karya mereka bermakna dan memberi manfaat bagi banyak orang.
Mereka mencipta dedikasi tinggi yang menduplikasi kebaikan bagi banyak orang. Mereka menghidupkan kesadaran orang lain untuk berdaya dan memberdayakan. Mereka menghadirkan optimisme kolektif melalui gagasan inovatif.
Dalam buku terbaru kami--Jackie, Chichi, dan saya--menyebutnya PSR, personal social responsibility. Tanggung jawab individu pada masyarakat. Sebuah ide personal dari corporate social responsibility (CSR).
PSR adalah tanggung jawab sosial diri kita sebagai individu dan bagian dari masyarakat. Sesungguhnya, konsep ini sudah tua, bahkan lebih tua daripada CSR karena kepedulian kita pada orang lain tumbuh lebih dulu daripada korporasi. Sekurang-kurangnya, PSR dapat ditilik dari enam perspektif.
Enam perspektif
Pertama, perspektif psikologis.
Meminjam pemikiran Maslow tentang piramida kebutuhan manusia, menurutnya, kebutuhan manusia terdiri atas fisiologis, rasa aman, sosial, ego, dan pencapaian tertinggi adalah aktualisasi diri.
Gagasan Maslow dipengaruhi oleh budayanya yang individualis. Masyarakat kolektifis--seperti Indonesia, Pakistan, India, Cina, Jepang--puncak pencapaian adalah kemampuannya dalam membawa keberkahan bagi masyarakat, mencintai, dan dicintai sesama.
Kedua, perspektif sosiologis.
Dalam kehidupan, kita adalah makhluk sosial. Butuh dukungan, interaksi, komunikasi, kerja sama, membutuhkan dan dibutuhkan oleh orang lain.
Ralph Waldo Emerson (1803-1882), penulis Amerika, menyatakan, "Tujuan hidup bukanlah agar bahagia. Tapi, agar bermanfaat, berguna, terhormat, mengasihi. Untuk menjadi seperti itu, buatlah perbedaan di mana Anda hidup dan hiduplah dengan baik." Bukan hanya mahluk sosial, manusia adalah khalifah di muka bumi. Manusialah yang seharusnya merupakan pusat energi positif penyebar kebaikan dan menularkan kebaikan bagi sesama.
Ketiga, perspektif genetis.
Kazuo Murakami PhD, ahli genetika, memercayai bahwa setiap manusia diberi porsi kemampuan sama. Manusia memiliki DNA yang mengandung semua bakat, sekaligus bukan bakat (perintang). Gen yang terprogram dalam 70 triliun kombinasi kode gen dapat dihidupkan atau dimatikan, layaknya lampu, dibuat on atau off.
Perilaku PSR dapat mengaktifkan gen positif dan menonaktifkan gen negatif. Cole dan Fredrickson (2013) menemukan bahwa dalam tubuh kita juga ada gen eudaimonic dan gen hedonic. Gen eudaimonic adalah sifat yang membuat seseorang bahagia karena membantu orang lain. Manfaatnya lagi, profil sel kekebalan tubuhnya menjadi baik.
Ada lagi hormon cinta, oksitosin. Gen ini dihubungkan dengan berbuat kebaikan, kedermawanan, dan bijak pada orang yang tidak mampu.
Keempat, perspektif edukatif.
Ada lagi hormon cinta, oksitosin. Gen ini dihubungkan dengan berbuat kebaikan, kedermawanan, dan bijak pada orang yang tidak mampu.
Keempat, perspektif edukatif.
Sekurang-kurangnya, ada enam nilai-nilai karakter bangsa yang dapat dikembangkan dengan PSR, yaitu toleransi, bersahabat, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab, dan religius.
Kelima, perspektif budaya.
Sesungguhnya, kita terbiasa memiliki tanggung jawab dengan bergotong-royong. Dalam pidato, Ir Sukarno menyebutkan, "Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama, amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama!"
Secara konstitusional, pada 1 Juni 1945, Sukarno bahkan mengusulkan dasar negara dengan tiga versi, yaitu Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Ekasila adalah gotong royong.
Sebagai budaya asli Indonesia, gotong royong telah ada sejak 2000 tahun SM. Budaya ini terdapat hampir di berbagai etnis yang ada di Indonesia. Istilah gotong royong juga digunakan di berbagai daerah dengan bahasa lokal.
Di Tapanuli disebut marsiurupan; Ambon masohi; Minahasa mapalus kobeng; Sumbada pawonda; Bali subak; Madura long tinolong; Jawa Barat liliuran; dan Sumatra Barat julojulo.
Kini, budaya individualis mengikis jiwa gotong royong kita. PSR diharapkan dapat menghidupkan kembali insting mendasar bangsa Indonesia untuk bergotong royong.
Keenam, perspektif spiritual.
Secara konstitusional, pada 1 Juni 1945, Sukarno bahkan mengusulkan dasar negara dengan tiga versi, yaitu Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Ekasila adalah gotong royong.
Sebagai budaya asli Indonesia, gotong royong telah ada sejak 2000 tahun SM. Budaya ini terdapat hampir di berbagai etnis yang ada di Indonesia. Istilah gotong royong juga digunakan di berbagai daerah dengan bahasa lokal.
Di Tapanuli disebut marsiurupan; Ambon masohi; Minahasa mapalus kobeng; Sumbada pawonda; Bali subak; Madura long tinolong; Jawa Barat liliuran; dan Sumatra Barat julojulo.
Kini, budaya individualis mengikis jiwa gotong royong kita. PSR diharapkan dapat menghidupkan kembali insting mendasar bangsa Indonesia untuk bergotong royong.
Keenam, perspektif spiritual.
PSR juga sejalan dengan Islam. Allah SWT berfirman dalam al-Maidah (2), "Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." Rasulullah SAW juga bersabda, "… sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia."
Pastinya, semua agama mengusung gagasan yang sama, yaitu mendukung umatnya berbuat kebaikan.
Kepedulian
PSR adalah bentuk kepedulian yang disertai keikhlasan dan dapat dilakukan siapa saja dengan tujuan memberi manfaat bagi sesama. PSR dapat dilakukan dengan menggunakan materi (uang atau benda), pikiran, tenaga, waktu, dan perasaan.
Sariban (70 tahun) yang mencabuti paku di pohon; Toni (12 tahun) mematikan lampu seusai kelas; Nuning membacakan buku untuk audio book bagi saudara kita yang tunanetra; Fahimah membawa perkakas kebersihan ke mushala yang kurang terawat; Rita mendongeng untuk anak-anak kanker; Wati dan teman-temannya memasak untuk kaum papa; Ibu Een, sebelum meninggal dalam keadaan lumpuh dan berbaring, memberi les pada anak-anak sekolah di kampungnya; semua itu bentuk tanggung jawab sosial pada masyarakat atau PSR.
Menariknya, PSR itu menular! Seperti film Pay It Forward, kita menjadi terinspirasi oleh perilaku orang lain dan menjadi "iri" atas PSR-nya. Memang, tak jarang ada hambatan ber-PSR. Hal ini karena adannya miskin mental (berpikir membantu adalah beban); terpengaruh budaya individualis; khawatir dicap "sok baik", "sok peduli", tidak dihargai, atau ditolak; benar-benar dapat ejekan saat ber-PSR atau tidak ada ide bagaimana ber-PSR.
Bayangkan Indonesia yang masyarakatnya hidup kembali rasa tanggung jawab sosial mereka.
Kita tahu, selama ini pendekatan kementerian lebih intens pada korporasi untuk ber-CSR. Bayangkan jika Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Lingkungan, Kementerian Kesehatan, dan kementerian lainnya memiliki program-program yang menyentuh kesadaran masyarakat agar ber-PSR dalam konteks departemen mereka.
Misalnya, makin banyak individu mengingatkan pentingnya temannya yang menyusui memastikan memberikan ASI. Makin banyak masyarakat yang peduli pada anak telantar; makin banyak orang berkenan membaca dan menyebarkan minat baca. Siapa saja bisa ber-PSR karena dapat dimulai pada hal yang paling mudah dilakukan; paling mungkin dilakukan; paling dekat dengan kehidupan kita, dan paling menyenangkan bagi kita.
PSR tidak membebani, tapi memberdayakan. Pelaku PSR memiliki keuntungan ganda, yaitu sehat jiwa dan raga. Selain itu, perilaku PSR dapat berpartisipasi dalam mengatasi masalah sosial dan perlahan menjadi masyarakat yang memiliki jiwa gotong-royong dan mengangkat harkat martabat manusia.
Tokoh Perubahan sudah PSR. Namun, siapa saja bisa ber-PSR karena itu adalah gaya hidup berkualitas. Mari ber-PSR!
Pastinya, semua agama mengusung gagasan yang sama, yaitu mendukung umatnya berbuat kebaikan.
Kepedulian
PSR adalah bentuk kepedulian yang disertai keikhlasan dan dapat dilakukan siapa saja dengan tujuan memberi manfaat bagi sesama. PSR dapat dilakukan dengan menggunakan materi (uang atau benda), pikiran, tenaga, waktu, dan perasaan.
Sariban (70 tahun) yang mencabuti paku di pohon; Toni (12 tahun) mematikan lampu seusai kelas; Nuning membacakan buku untuk audio book bagi saudara kita yang tunanetra; Fahimah membawa perkakas kebersihan ke mushala yang kurang terawat; Rita mendongeng untuk anak-anak kanker; Wati dan teman-temannya memasak untuk kaum papa; Ibu Een, sebelum meninggal dalam keadaan lumpuh dan berbaring, memberi les pada anak-anak sekolah di kampungnya; semua itu bentuk tanggung jawab sosial pada masyarakat atau PSR.
Menariknya, PSR itu menular! Seperti film Pay It Forward, kita menjadi terinspirasi oleh perilaku orang lain dan menjadi "iri" atas PSR-nya. Memang, tak jarang ada hambatan ber-PSR. Hal ini karena adannya miskin mental (berpikir membantu adalah beban); terpengaruh budaya individualis; khawatir dicap "sok baik", "sok peduli", tidak dihargai, atau ditolak; benar-benar dapat ejekan saat ber-PSR atau tidak ada ide bagaimana ber-PSR.
Bayangkan Indonesia yang masyarakatnya hidup kembali rasa tanggung jawab sosial mereka.
Kita tahu, selama ini pendekatan kementerian lebih intens pada korporasi untuk ber-CSR. Bayangkan jika Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Lingkungan, Kementerian Kesehatan, dan kementerian lainnya memiliki program-program yang menyentuh kesadaran masyarakat agar ber-PSR dalam konteks departemen mereka.
Misalnya, makin banyak individu mengingatkan pentingnya temannya yang menyusui memastikan memberikan ASI. Makin banyak masyarakat yang peduli pada anak telantar; makin banyak orang berkenan membaca dan menyebarkan minat baca. Siapa saja bisa ber-PSR karena dapat dimulai pada hal yang paling mudah dilakukan; paling mungkin dilakukan; paling dekat dengan kehidupan kita, dan paling menyenangkan bagi kita.
PSR tidak membebani, tapi memberdayakan. Pelaku PSR memiliki keuntungan ganda, yaitu sehat jiwa dan raga. Selain itu, perilaku PSR dapat berpartisipasi dalam mengatasi masalah sosial dan perlahan menjadi masyarakat yang memiliki jiwa gotong-royong dan mengangkat harkat martabat manusia.
Tokoh Perubahan sudah PSR. Namun, siapa saja bisa ber-PSR karena itu adalah gaya hidup berkualitas. Mari ber-PSR!
Leila Mona Ganiem
Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia, Dosen Komunikasi Universitas Mercu
Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia, Dosen Komunikasi Universitas Mercu
No comments:
Post a Comment