Profesi Kedokteran Untuk Masyarakat
Leila Mona Ganiem
Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia
Republika, 30 November 2017
Minat
memasuki fakultas kedokteran (FK) dan kedokteran gigi (FKG) masih tinggi. Dokter
kerap dipandang sebagai profesi mulia, memiliki status sosial tinggi, dengan
pendapatan sangat baik.
Disisi
lain, masyarakat butuh dokter yang kompeten, professional, update iptek, berbudi luhur, beretika, berorientasi pada
keselamatan pasien, dan berjiwa sosial. Karena, Medical practice is Not ‘a right’ but ‘a privilege’.
Praktik kedokteran bukanlah ‘hak’
bagi semua lulusan fakultas kedokteran dan kedokteran gigi, namun merupakan
‘hak istimewa’.
Artinya, meskipun seseorang
telah lulus dari pendidikan kedokteran/kedokteran gigi, namun
jika tidak dapat menunjukkan kinerja sebagai
seorang dokter/dokter gigi profesional
sesuai standar, maka dirinya tidak bisa melakukan praktik kedokteran.
Untuk mendukung
dokter dan dokter gigi yang pintar dan baik (Prof. Moeloek menyebutnya, high tech and high touch), maka pelibatan
masyarakat untuk bersama menjaga profesi ini, perlu dilakukan.
Pendidikan dan Praktik Kedokteran:
Pengupayaan Serius
Pemuda-pemudi
yang diterima di FK dan FKG favorit hanyalah mereka yang memiliki kategori
sangat cerdas. Peraturan baru, Permenristekdikti No. 43 Tahun 2017 menyebut, selain
lulus seleksi, calon mahasiswa juga
harus lulus tes kesehatan, tes bakat, dan tes kepribadian.
Waktu
kuliah profesi kedokteran cenderung panjang yaitu sarjana hingga kepaniteraan
klinik/koas diselesaikan dalam waktu sekitar 5 (lima) tahun untuk dokter, setelah
itu internship 1 (satu) tahun. Bagi dokter gigi, pendidikan sekitar 6 (enam) tahun.
Sesuai
amanah UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, seusai koas, mahasiswa mengikuti Uji Kompetensi Mahasiswa Program
Profesi Dokter (UKMPPD) atau UKMPPDG untuk kedokteran gigi. Ujian ini penting karena digunakan untuk mengukur
pengetahuan, keterampilan dan sikap dari calon dokter dan dokter gigi dari FK
dan FKG manapun di Indonesia.
Setelah
lulus uji kompetensi, Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004, menetapkan para lulusan dapat memperoleh STR atau Surat
Tanda Registrasi. STR adalah surat jaminan
dari Negara melalui Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), bahwa mutu dan
kompetensi dari dokter/dokter gigi tersebut dapat diandalkan. Dengan demikian, masyarakat terjamin pelayanan kesehatannya
karena hanya yang dianggap kompetenlah yang bisa memperoleh STR sehingga
selanjutnya dapat menyentuh tubuh pasien dalam konteks praktik kedokteran.
Proses menjaga
agar dokter kompeten masih berlanjut. Agar
hasil pendidikan selaras dengan praktik
di lapangan dan dokter lebih mahir dan mandiri, maka dokter wajib mengikuti
program internship di seluruh Indonesia
selama 1 (satu) tahun.
Setiap lima
tahun sekali, jika masih berminat untuk praktik kedokteran, dokter/dokter gigi wajib memperpanjang
STRnya. Salah satu syaratnya adalah menunjukkan
bukti bahwa yang bersangkutan tetap belajar dan meningkatkan kompetensinya (Pendidikan
Profesional Berkelanjutan) sesuai mekanisme kredit poin yang diatur. Tanpa
proses tersebut, dokter tidak akan memperoleh STR. Jika berpraktik tanpa STR, maka dianggap illegal dan dapat dipidana.
Dokter/dokter
gigi juga profesi penolong yang paling
beresiko. Ketika yang ditolong merasakan ada kesalahan prosedur disiplin, yang
ditolong dapat melapor ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(lembaga di dalam Konsil Kedokteran Indonesia). Mekanisme ini untuk melindungi
masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan dan memberi kepastian hukum bagi
masyarakat dan dokter/dokter gigi. Jika
ditemukan pelanggaran, maka STR dapat dicabut untuk sementara, bahkan dokter/dokter
gigi harus belajar lagi.
Melalui semua
upaya ini, diharapkan dokter/dokter gigi senantiasa kompeten, terjaga
kualitasnya, dan masyarakat mendapat manfaat terbaik serta percaya pada
dokter/dokter gigi Indonesia.
Tantangan Semua Pihak
Bagi
pemuda-pemudi Indonesia, jika memilih profesi ini, perlu komitmen tinggi. Hanya peminat serius,
mampu, disiplin, tangguh, beretika, berjiwa melayani saja yang sebaiknya menjadi dokter/dokter gigi. Memaksakan diri atau ananda untuk masuk
FK/FKG dengan biaya berapapun, bukanlah pilihan bijak.
Sebuah contoh, kelulusan uji kompetensi nasional hanya sekitar
70%. Mahasiswa dari FK/FKG berakreditasi baik, cenderung lulus
di uji kompetensi. Sementara, mahasiswa
dari FK/FKG dengan akreditasi C, banyak yang tidak lulus uji kompetensi dalam sekali
waktu. Mereka harus mengulang (retaker)
bahkan berkali-kali. Perjalanan panjang
pendidikan mereka, juga tidak memberi
kepastian mencapai cita-cita. Maka wajib
bagi masyarakat untuk jeli dan berhati-hati memilih FK/FKG.
Saat ini,
tugas FK/FKG lah yang mengantarkan mahasiswa hingga lulus uji kompetensi. Untuk itu, FK/FKG harus memenuhi standar
pendidikan profesi yang berlaku;
kurikulum yang tepat; dosen yang
kompeten dan jumlahnya cukup; sarana pendidikan yang mumpuni; rumah sakit
pendidikan; dan sumber pembiayaan yang transparan. Aturan Permenristekdikti No.
43 tahun 2017 tentang kuota dan seleksi
penerimaan mahasiswa baru semestinya dipatuhi.
Bagi
pengelola pendidikan yang berminat membuka FK/FKG baru, perlu menyadari
kemampuannya dan bersungguh-sungguh menjalani sesuai prosedur, tidak berpolitik,
serta tulus berupaya mencapai hasil terbaik untuk memproduksi dokter dokter
gigi yang bermanfaat bagi keselamatan masyarakat.
Sebagai penutup, profesi kedokteran, lahir dari kebutuhan
masyarakat untuk hidup sehat dan menjalani kehidupan berkualitas. Ini adalah
tanggung jawab bersama. Hanya anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan
panggilan hati yang tulus sajalah yang sebaiknya mengemban amanah profesi ini. Penempaan
melalui pendidikan kedokteran, perlu ditingkatkan terus kualitasnya.
Para pemangku kebijakan juga semestinya
tetap kukuh memastikan dan membina agar pengelolaan
pendidikan FK/FKG dapat menghasilkan lulusan terbaik.