Thursday, November 22, 2018
Tuesday, September 04, 2018
Sharing Moment Abang None DKI Jakarta 2018, 2019
Sharing Moment
Abang None DKI Jakarta, 2018 & 2019
Sharing Abnon, 2018
Abnon 2018
Sharing Abnon 2019
Monday, June 11, 2018
MABUK GAWAI SAAT LEBARAN
MABUK GAWAI SAAT LEBARAN
Terbit di Republika, 11 Juni 2018
Oleh: Leila Mona Ganiem
Waketum ISKI dan Komisioner KKI
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTlR1n39o28fAek-Ht78kV3iY4ETY7c2oT485s1LkURb8ApcIDT
Apa
yang terjadi jika silaturahim yang seharusnya meningkatkan kualitas interaksi
antar manusia, malah menguranginya. Lucunya,
stimulus perenggang adalah sebuah benda yang dianggap solusi dalam
menghubungkan manusia, yaitu gawai atau gadget.
Di
Indonesia dan beberapa negara muslim, mudik lebaran, yang dalam kerepotan
apapun serta berbiaya tinggi, masih tetap diupayakan. Tujuan mudik adalah untuk
bersilaturahim dengan sanak famili dan kerabat.
Ironisnya, manakala momen kebersamaan yang dinanti-nantikan ini, malah terganggu,
lantaran adanya mabuk gawai.
Apa sebenarnya Mabuk
Gawai atau Phubbing yang menjadi masalah
global abad ke 21 ini.
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQElrxWjla5z5M7qELqIP5sqfQnUvYlLG_niySJid0gHEF6VvHG
Phubbing adalah kata
baru yang dilahirkan oleh pakar bahasa (ahli leksikon, phonetic), ahli debat, budayawan,
dan sosiolog, sekitar enam tahun silam
di Australia. Asal
kata Phubbing adalah dari phone dan snubbing (tidak peduli). Film A Word
is Born merekam keseluruhan proses penciptaan istilah baru ini dan menjadi
iklan untuk kamus bahasa Inggris-Australia, Macquarie. Karena dunia butuh kata baru ini, maka dalam
setahun saja, kata Phubbing telah
diterima di lebih dari 180 negara.
Di
Indonesia, Badan Bahasa Kemendikbud menerjemahkan Phubbing dengan kata ‘Mabuk Gawai’. Kata ini adalah penjelasan dari
sikap cuai atau abai terhadap lawan bicara atau lingkungan sekitar karena
terlalu asyik menggunakan gawai.
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTFy0fpyEnGEoWWG63DFgDu7BXfgLPfzX0mSHG-pa5Ok4Iv6UxBCw
Saat
bersilaturahim sambil mabuk gawai, maka kita tidak mampu mendengar apa yang
disampaikan lawan bicara. Akibatnya
kurang paham substansi percakapan dan sulit merespon, atau akan menjawab dengan
singkat ‘ya’. Berkurangnya interaksi manusia dan terbatasnya keterlibatan
antarpribadi ini membuat perjumpaan menjadi tidak bermakna dan hambar, orang
merasa diabaikan, tersinggung, empatinya tergerus, simpatinya tumpul, anti-sosial
dan menimbulkan kematian percakapan.
Sesungguhnya
sejak 1962, Herbert Marshall McLuhan, ilmuwan komunikasi asal Kanada, telah
memprediksi bahwa manusia cenderung serius mengupayakan teknologi dengan
harapan dapat menyelesaikan masalah kehidupan, tapi teknologi tersebut malah
menghancurkan kita.
Kita
juga mengakui bahwa eksistensi manusia sangat dipengaruhi oleh moda
komunikasi. Dulu bertemu langsung, kini kita dapat menjangkau, bercanda dan
bertukar pikiran dengan orang jauh, kapan saja, dimana saja, seketika itu,
dengan gawai.
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSg9mwOcuE1KgvsZuxbJSQoIHjsvqqkIqHhZZy2uTNJlYwZaGYD
Meski
banyak hal positif dari penemuan gawai, secara perlahan dan pasti, alat ini menjauhkan
sesama manusia. Keberisikan percakapan
dari dunia nyata yang telah lama ada, kini beralih ke dunia maya. Serasa ada
orang ketiga pengganggu dalam hubungan antarpribadi. Dan sayangnya, individu lebih berminat terhubung
dengan orang ketiga tersebut.
Buktinya, konsumsi waktu kita untuk gawai lebih banyak dari
kegiatan apapun. Saat bertemu kerabat,
tiap dua menit mata melirik ke gawai
memastikan apakah ada pesan masuk, membaca atau mengetik pesan. Sebelum memakan
hidangan di restoran, malah sibuk memotret dahulu. Sambil mendengarkan khotbah
lebaran, sibuk memainkan gawai untuk update status di medsos, ngobrol (chatting), berselancar di dunia maya,
main games, atau sekedar menikmati lelucon.
https://image.slidesharecdn.com/nomophobia-film260-150612191055-lva1-app6891/95/nomophobia-are-you-addicted-to-your-smartphone-1-638.jpg?cb=1434136428
Ada lagi penyakit yang timbul lantaran mabuk gawai. Nomophobia (no-mobilephone phobia), kecemasan akibat
tidak membawa ponsel. Sepuluh tahun
lalu, penyakit baru ini mewabahi lebih dari 66% penduduk dunia. Kelainan psikologis ini muncul ketika
seseorang takut kehilangan informasi akibat tidak membawa gawai. Kepanikan
akibat nomophobia ini membuat jiwa seseorang tidak sehat.
Dalam konteks kehidupan rumah tangga atau hubungan romantis,
penelitian dari Hankamer School of Business dari Baylor University, Texas,
menyimpulkan bahwa kebiasaan tidak mengindahkan lawan bicara dan lebih fokus
pada gadget akan merusak hubungan romantis dan meningkatkan
kecenderungan depresi karena kepuasan hidup akan menurun. Pasangan cenderung
khawatir karena diabaikan, lalu berkonflik dan tidak puas dalam hubungan,
selanjutnya merasa hidupnya tidak memuaskan dan depresi. Itulah mengapa institusi
perkawinan berada dalam kondisi yang rentan bahkan penyebab sekitar 40-50% dari
berakhirnya rumah tangga dan hubungan romantic lantara mabuk gawai.
Sebagai solusi, sosok
panutan umat manusia, Rasulullah SAW, memberikan contoh cara berinteraksi. Ketika seseorang bercerita, maka beliau akan diam
dan benar-benar mendengarkan, meskipun beliau pernah tahu cerita tersebut. Saat
lawan bicara tertawa, Rasulullah ikut tertawa. Jika orang tersebut takjub
dengan yang sedang dibicarakan, Rasulullah ikut takjub. Bahkan beliau mengekspresikan semangat yang
lebih tinggi ketika duduk dengan orang
yang bersemangat bercerita.
Suatu ketika, manakala perhatian Rasulullah terpaling pada
sebuah cincin indah yang dikenakannya, maka Rasulullah segera melempar cincin
itu untuk kembali berfokus pada lawan bicaranya. Rasulullah berupaya agar tidak
melakukan tindakan yang mengganggu konsentrasi orang yang sedang berbicara pada
nya.
Belajar dari sosok panutan umat, Rasulullah, agar tujuan
silaturahim menjadi tercapai, mari kita nikmati momen lebaran dengan kemenangan
menundukkan hawa nafsu duniawi, yaitu hindari mabuk gawai. Ini juga merupakan
salah satu bentuk kemenangan sejati.
Thursday, May 31, 2018
Tuberkulosis dan PSR
Tuberkulosis dan PSR
https://opini.telegraf.co.id/2018/05/30/tuberkulosi-dan-psr/
Terbit di Telegrafi
(Last Updated On: 30/05/2018)
Telegrafi – Di dunia, tuberkulosis (TBC atau TB) adalah penyakit infeksi mematikan pertama. Sepertiga penduduk di muka bumi terjangkiti kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi penyakit ini. Asia menjadi penyumbang signifikan kasus TB, yaitu sebesar 33%. Saat ini, di dunia terdapat 22 negara yang dianggap memiliki beban penyakit TB yang tinggi. Penyakit TB terus meningkat karena adanya TB resisten obat ganda (multidrug-resistant tuberculosis, MDR-TB) yang mencapai 3,7% kasus baru.
Indonesia menempati urutan kedua tertinggi, setelah India dan diikuti China. Penyakit TB ini juga merupakan penyakit mematikan nomor tiga di Indonesia (2016). Menurut data Forum Stop TB Partnership Indonesia (FSTPI), sepanjang 2016 ada 274 kasus kematian per hari yang disebabkan oleh penyakit ini. BPJS mendanai lebih dari 190 miliar rupiah untuk TB pada tahun 2015 saja.
Penyakit paru ada seusia keberadaan manusia. Menurut de Langen dan van Joost, dugaan tertua penyakit TB di Indonesia, terukir dalam relief di Candi Borobudur. Artinya TB telah ada ketika candi tersebut dibangun. Masalah TB juga merupakan isu yang menggelisahkan penjajah, sehingga pemerintahan kolonial Hindia Belanda merasa perlu membentuk lembaga khusus yang bernama Stichting Centrale voor Tuberculose Bestrijding (SCVT) tahun 1930. Hingga kini, TB masih juga menjadi problem nasional.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular paru-paru yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini kadang disebut ‘flek paru’, meski bisa menjangkiti organ tubuh lain. Gejala klasik pada penderita TB dapat berupa batuk, berat badan turun, tidak nafsu makan, demam, keringat di malam hari, batuk berdarah, nyeri dada, dan lemah.
Proses penyebaran gejala TB bisa terjadi dengan cara yang sangat mudah . Penderita TB yang batuk atau meludah dapat dengan tidak sengaja menularkannya. Bakteri menyebar dengan cepat melalui udara kemudian masuk ke lingkungan lain seperti air dan tanah. Mereka yang beresiko memiliki penularan lebih tinggi adalah orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, pengidap HIV/AIDS, diabetes, atau orang yang sedang menjalani kemoterapi, orang yang mengalami malnutrisi, perokok, pecandu narkoba, orang yang kerap kontak dengan penderita TB aktif, dan mereka yang kesulitan mendapat akses pelayanan kesehatan.
Penyakit TB tidak hanya isu biomedis, namun banyak terkait sosiokultural. Karena itu, dukungan sosial sangat diperlukan. Beberapa pertimbangan yang penting dicermati adalah:
Pertama, bakteri TB sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobati- setidaknya konsumsi obat sekitar 6 bulan sampai dinyatakan sembuh oleh dokter. Apabila pengobatan dihentikan, maka penderita beresiko kambuh dan kuman menjadi resisten.
Kesalahan manusia berkontribusi terbesar pada kasus resistensi antibiotic pada TB. Secara spesifik diantaranya karena ketidaktaatan pasien minum obat secara teratur, dosis obat, lama pengobatan dan kegagalan memengaruhi penderita untuk menyelesaikan program pengobatan. Kurangnya disiplin pada pengobatan berdampak pada kegagalan pengobatan. Akibatnya penyembuhan jauh lebih sulit, lebih lama dan bahkan menyebar ke bagian tubuh lain yang berpotensi mengancam jiwa.
Kedua, stigma yang tidak menyenangkan diterima oleh penderita TB di Indonesia memperpanjang resiko sakit dan penularannya. Penderita menerima beragam diskriminasi dan kekerasan psikologis seperti pengabaian, perbedaan perlakuan, penghindaran, pengusiran, pengasingan, pelecehan, penghakiman berdasarkan moralitas, digiring mengundurkan diri atau dipecat dari tempat kerja; bahkan kekerasan fisik. Dampaknya, penderita menjadi depresi, takut, rendah diri, malu, menutup diri dari pergaulan dan putus asa.
Hadirnya labelisasi negatif yang disematkan pada penderita dan konsekuensi sosial ekonomi yang merugikan, menyebabkan penderita dan keluarga malu mengakui adanya penyakit TB. Pekerja penderita sangat mungkin menyembunyikan penyakitnya, karena pertimbangan keberlangsungan kerja dan kebutuhan hidup. Akibatnya epidemi penyakit TB tetap hidup dan leluasa menyebar.
Tekanan sosial mendukakan dan menduplikasi keburukan merupakan bentuk perilaku yang tidak bertanggung jawab sosial. Padahal, Rasulullah SAW mengajak manusia untuk senantiasa memastikan keberadaan hidupnya membawa kemaslahatan bagi sesama.
Sebagai individu, kita dapat berkontribusi mencegah dan memberantas masalah TB melalui pendekatan yang sesuai dengan jiwa masyarakat Indonesia yaitu, konsep PSR.
PSR adalah Personal Social Responsibility atau Tanggung Jawab Sosial Individu pada masyarakat. PSR adalah ide personal dari CSR (Ganiem, Ambadar, Soekardjo, 2015). August Comte, filsuf Perancis abad ke 18, percaya bahwa individu memiliki kewajiban moral untuk berkhikmat bagi kepentingan orang lain atau kebaikan manusia yang lebih besar.
Bentuk kebaikan dalam PSR dapat diejawantahkan melalui uang, pikiran, tenaga, waktu atau perasaan.
PSR atau tanggung jawab sosial dari penderita TB agar tidak menulari orang lain- dapat dilakukan dengan menginformasikan kondisinya dan mengajukan dukungan dari lingkungan terdekat. Meminimalisir kontak dengan orang sehat. Saat batuk, penderita sebaiknya menutupi mulut dan memalingkan muka agar tidak mengenai orang lain. Menggunakan masker ketika bepergian. Memilih tempat tertutup kala membuang ludah. Jika ludah bercampur darah, penderita segera ke puskesmas atau ke rumah sakit. Mencuci peralatan makan dan minum yang digunakannya sampai bersih.
Bagi bukan penderita TB, PSR dapat diberikan dalam bentuk empati, lebih peduli mengingatkan agar penderita taat berobat, tidak memberikan stigma negatif, membiayai, memberikan edukasi pada penderita; mendorong berdirinya komunitas kesehatan di daerahnya sehingga ada ruang berbagi rasa dari sesama yang dipandu profesional kesehatan; mendidik masyarakat dengan menyebarkan informasi yang akurat tentang TB di media sosial, dll.
Kegotongroyongan PSR ini diharapkan dapat memanusiakan kembali penderita, meningkatkan pemahaman dan tanggung jawab penderita pada diri dan orang lain, memastikan perilaku hidup sehat yang tidak beresiko menularkan dan membawa kemaslahatan bersama.
Ketika masing-masing dari masyarakat berkontribusi untuk penanggulangan masalah TB, maka peluang pemberantasan penyakit di bumi Indonesia dan di dunia dapat diharapkan tercapai. Tentu saja dukungan pengobatan sangat diperlukan. Kementerian Kesehatan memimpin pelaksanaan yankes agar agenda bersama memberantas TB tahun 2050 dapat tercapai.
Sepakat dengan WHO, tak seorangpun boleh ditinggalkan, mari bersinergi mengakhiri tuberkulosis, dengan PSR.
Oleh : Leila Mona Ganiem, Akademisi dan Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia. Photo : Shutterstock
Wednesday, May 23, 2018
Antibiotik: Pembunuh Diam-Diam
Antibiotik: Pembunuh Diam-Diam
Terbit di Koran Sindo, 19 Mei 2018
Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, dalam laporan pada 2014 menyebut bahwa resistan (tahan) terhadap antimikroba (antimicrobial resistant / - AMR) merupakanan ancaman pada kesehatan masyarakat secara global.
Resistan antimikroba sangat berbahaya dan menakutkan karena kondisi ini berpotensi menimbulkan kematian dini. Sayangnya, negara berkem bang memiliki risiko tertinggi karena kurangnya orang, dana, dan infrastruktur. Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh anti mikroba. Penisilin adalah antibiotik yang pertama kali di temukan oleh Alexander Fleming pada 1928.
Obat ini digunakan untuk melawan infeksi karena bakteri atau untuk menghambat pertumbuhan bakteri pada manusia. Penderita penyakit karena infeksi sederhana saja, mungkin akan bertahan hidup singkat tanpa antibiotik. Fleming dianugerahi penghargaan Nobel karena penemuannya berdampak besar pada dunia kesehatan.
Secara alamiah, manakala kuman tidak dapat lagi dibunuh dengan dosis antibiotik yang biasa digunakan, kemungkinan kuman telah resistan terhadap antibiotik. Beberapa bakteri yang resistan akan berubah, beradaptasi, dan mempertahankan diri, menjadi generasi baru yang lebih kuat lagi atau berbeda. Bakteri yang lebih kuat perlu diatasi dengan antibiotik yang lebih kuat. Sayangnya, ruang pertarungan tersebut adalah tubuh kita.
Resistan antibiotik adalah situasi serius, masalah global dan lintas batas geografis. Di dunia, sekitar 30-80% penggunaan antibiotik tidak ber dasarkan indikasi. Pada 2013, WHO menyebut adanya 480.000 kasus baru multidrugresistant tuberculosis (MDR-TB) di dunia. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa bakteri membutuhkan 1-2 tahun untuk resistan setelah terpapar antibiotik yang tidak tepat.
Sementara menciptakan antibiotik generasi baru membutuhkan waktu 5-20 tahun. Proporsi resistan terhadap bak teri, juga berbeda lintas negara, yaitu antara 0-82%. Di Amerika, 2 juta orang tiap tahun mengalami resistan terhadap antibiotik dan 23.000 orang meninggal karena resistan. Di beberapa bagian di negara Australia, 80% infeksi yang disebabkan oleh bakteri staphylococcal sudah tidak bisa disembuhkan dengan produk antibiotik standar.
Saat ini, setiap tahun diperkirakan sekitar 700.000 orang di dunia meninggal akibat resistensi antibiotik. Hasil sebuah penelitian pada 2015 oleh sebuah lembaga di bawah pemerintah Inggris memprediksi bahwa di dunia akan terjadi 10 juta kematian setiap tahun dan 300 juta orang akan meninggal karena resistan terhadap obat dalam 35 tahun sejak 2016 hingga 2050.
Risiko ekonomi ketika masalah resistensi antibiotik ini tidak dikendalikan dengan baik adalah antara USD60-100 triliun. Mengapa resistan? Penyebab utamanya karena kesalahan pengonsumsian antibiotik; penggunaan antibiotik yang tidak sampai habis sehingga bakteri tidak mati secara keseluruhan, yang selanjutnya menghasilkan bakteri baru yang lebih kuat. Silakan cek di kulkas atau kotak obat keluarga, adakah antibiotik di sana.
Data di Indonesia menunjukkan, rumah tangga yang menyimpan antibiotik, sejumlah 69% sebagai obat sisa dan 31% sebagai persediaan (Riskesdas 2013). Bagaimana keluarga memperoleh antibiotik juga menarik untuk ditelaah. Untuk memperoleh pengobatan instan, konsumen langsung ke apotek, toko obat atau warung, membeli tanpa resep dokter.
Pasien juga tak jarang mendesak dokter untuk meresepkan di luar indikasi medis. Yang lebih menantang, beberapa produk dianggap permen pelega tenggorokan yang dikonsumsi sesukanya. Kontras dengan negara maju, ketika anak sakit flu, dokter menyarankan, “konsumsi sup hangat, beri pelukan, istirahat cukup”, tanpa obat. Mana kala berulang kali ke dokter dengan isu yang sama, dokter baru akan meresepkan antibiotik.
Ternyata, tak hanya masyarakat awam, hasil studi pengembangan kebijakan pengendalian resistensi antimikroba di Indonesia oleh Litbang Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan WHO (2015) menunjukkan bahwa tenaga medis (dokter) dan tenaga kesehatan (perawat, apoteker, bidan) melakukan pengobatan irasional.
Sosialisasi kebijakan dan pengawasan pihak regulator masih lemah. Sementara itu, kepentingan ekonomis dari fasilitas kesehatan swasta, serta industri farmasi yang tak jarang melakukan strategi marketing tidak etis. Selain obat pada manusia, antibiotik juga digunakan untuk peternakan, pertanian, dan perikanan.
Dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan, peternak menyuntik sendiri sapi perah dengan antibiotik. Peternakan kecil yang jumlahnya banyak juga sulit diawasi. Di Indonesia, residu antimikroba pada ikan atau udang untuk ekspor sudah diperiksa, tapi belum untuk kebutuhan dalam negeri.
Penggunaan pestisida pada pengendalian hama tanaman juga perlu perhatian lebih serius. Pengaturan nasional terkait penggunaan antibiotik sudah ada. Meski demikian, regulasi ini perlu disosialisasikan secara intensif kepada se mua pihak yang terkait serta benarbenar dikawal implementasinya.
Tantangannya, resistensi pada antibiotik bagaikan pembunuh yang ada di sekitar kita, datang diam-diam, dan sedikit sekali dari kita yang menyadarinya. Bagai katak di dalam air lalu diberi api di bawahnya. Air akan menjadi hangat, hangat dan panas, lama-lama katak mati begitu saja.
Saatnya kita bergandengan tangan memberikan kontribusi besar ataupun kecil, untuk memperbaiki potensi ancaman pada kesehatan global ini. Semua pihak, termasuk masyarakat, perlu memahami betul pentingnya menggunakan antibiotik secara bijak dan bertanggung jawab.
Leila Mona Ganiem dan Indah Suksmaningsih
Wakil Indonesia dalam Dialog WHO & NGO tentang Antimicrobial Resistant/AMR di Jenewa bulan Mei 2018
Thursday, April 19, 2018
Monday, January 15, 2018
Isu Bahasa Dokter Dalam MEA
Isu Bahasa Dokter Dalam MEA
Republika, 15 Januari 2018
Leila Mona Ganiem
Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia
Friday, January 05, 2018
2018 Tahun PSR
Akademisi dan Komisioner KKI
Jika selama ini masyarakat mengenal Corporate Social Responsibility (CSR), kini setiap orang perlu mengenal PSR dan menjadikannya sebagai gaya hidup.
Apa
itu PSR? Personal Social Responsibility, atau Tanggung Jawab Individu pada
masyarakat atau lingkungan merupakan ide personal dari CSR.
PSR
bukan hal baru. Rasulullah mengingatkan, "sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain". Tidak hanya Islam, semua
agama pasti mengajarkan berbuat baik pada orang lain.
PSR adalah bentuk altruisme yaitu tindakan
sukarela untuk membantu orang lain tanpa pamrih kecuali kenyamanan hati karena telah
memberikan suatu kebaikan. PSR adalah bentuk kesediaan untuk meletakkan
kepentingan orang lain diatas kepentingannya sendiri. August Comte, filsuf
Perancis abad ke 18, percaya bahwa individu
memiliki kewajiban moral untuk berkhikmat bagi kepentingan orang lain atau
kebaikan manusia yang lebih besar.
PSR
dapat diekspresikan dalam beragam macam baik menggunakan uang, pikiran, tenaga,
waktu atau perasaan.
Ibu
Een, pejuang pendidikan asal Sumedang, semasa hidup dalam keadaan lumpuh dan
terbaring lantaran penyakit Rheumatoid
arthritis (RA), tetap memberi manfaat dengan mengajar pada anak-anak di
lingkungannya. ini adalah bentuk PSR.
Pak Sariban, 74 tahun, menyapu sampah
menggunakan sepeda bahkan bersuara lantang di depan pengunjung di berbagai
kerumunan di Bandung, membawa pesan menjaga kebersihan. Dia dengan sabar menarik paku yang
melukai pohon hingga terkumpul lebih dari 15 karung.
Wiwin, kelas 9, sudah 5 bulan ini memilih merawat 10 pot tanaman di sekolah,
menyirami dan memastikan tanaman tersebut subur. Siswa lain, Tri, mengingatkan teman sekolahnya
untuk menyempatkan shalat dhuha ketika istirahat sekolah.
Dr. Rita menggunakan waktu satu jam untuk
memberi panduan mengenai cara hidup sehat di beberapa arisan di Surabaya,
setiap bulannya.
Mengantarkan tetangga ke dokter-membantu
pengurusan administrasi RS- menghibur orang sakit, membiayai pendidikan
seseorang, membantu warga senior
menyeberang jalan dengan aman, menjadi
komite sekolah yang kontributif, memindahkan kulit pisang di jalanan ke tempat
sampah, membuat flyer tips bijak ber-media sosial, mengisi
batu pasir pada jalanan berlubang di sekitar rumah, adalah bentuk kreatif lain dari PSR.
Bayangkan, Indonesia akan menjadi negara besar
dan kuat ketika PSR memandu keseharian warganya. Semua saling memikirkan orang
lain, sebesar apapun kontribusinya,
selalu menyelipkan kemaslahatan orang lain dalam tindaknya tanduknya. Tidak hanya memikirkan
kepentingannya sendiri!
Sesungguhnya PSR adalah jiwa bangsa Indonesia. Bung Karno dengan lantang
menyebut Ekasila sebagai prinsip substantive kehidupan kebangsaan adalah ‘Gotong Royong’.
Melalui PSR, kesadaran bergotong royong
ditumbuhsuburkan. Masing-masing
mengkonstribusikan sebagian dari dirinya untuk membuat perbaikan dan
kesejahteraan bersama.
Pelajaran dari nenek moyang kita juga gotong
royong dalam keseharian mereka. Itulah yang menjadi fondasi kuat masyarakat
kita yang kolektifis. Menjaga hubungan baik, mengikatkan diri dalam
persaudaraan, kasih sayang dan tolong menolong untuk kebaikan. Solidaritas dan
kebersamaan meningkat, persatuan dan kesatuan kian kukuh, saling meringankan,
menghasilkan produktifitas kerja yang baik serta meningkatkan ketakwaan pada Tuhan
YME.
Dalam buku PSR yang
kami tulis (Ganiem, Ambadar, Soekardjo, 2015), kami meyakini bahwa PSR dapat
terlaksana ketika ada ketulusan, sukarela dilakukan berdasarkan kepedulian
untuk membawa manfaat bagi orang lain atau masyarakat. PSR juga dapat dilakukan
oleh siapa saja, orang sakit sehat, tua muda, profesi apa saja. Ketika orang
lain berbuat kebaikan, hukum alamnya adalah perbuatan baik itu menular. Pak Sariban
yang menyuarakan kebersihan, menginspirasi para relawan kebersihan untuk
berbuat yang sama.
Kontribusi dari PSR
semakin berlimpah ketika melalui PSR,
setidaknya ada enam karakter yang terbentuk dengan menjalankan PSR.
Tanggung jawab, Toleransi, bersahabat/komunikatif, peduli lingkungan, peduli
sosial, tanggung jawab dan relijius.
Sesuai kebijakan
nasional, pembangunan karakter bangsa
adalah tugas bersama, maka seluruh ranah dapat bersinergi.
Misalnya, sebagai
pendidikan pertama dan utama dalam kehidupan manusia, keluarga sangat layak
mendukung PSR dengan cara setiap anggota keluarga memiliki agenda PSR yang
ditujukan bukan untuk keluarga inti, tapi untuk masyarakat yang lebih luas. Pembiasaan
PSR di keluarga penting karena sebagai
penghayat nilai, pembentukan kesadaran
‘aku’ manusia yang membawa manfaat, harus
dibangun, ditumbuhkembangkan pertama kali melalui pengasuhan, contoh dan
pengalaman belajar di rumah.
Lembaga pendidikan
dari TK, bahkan Paud hingga perguruan tinggi, dapat menyentuh syaraf peserta
didik dengan PSR yang dalam konteks pendidikan dikenal sebagai pengabdian
masyarakat.
Dunia usaha dan
industri, dapat mengkombinasikan PSR dengan CSR. Menyentuh syaraf yang tepat
dari para karyawan untuk berbagai
kebaikan pada sesame diantara waktu yang dimiliki dalam berbagai keahliannya.
Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh PNS di lingkup pemerintah dan
masyarakat politik.
Lembaga sosial
kemasyarakatan yang telah membaktikan diri untuk masyarakat, diharapkan dapat
menularkan terus virus PSR bagi masyarakat agar dampak duplikasi dari PSR dapat
dirasakan lebih cepat dan luas.
Terakhir, para insan
media dapat menjalankan PSR dengan sangat berkualitas ketika menyadari bahwa
pesan yang mereka produksi dapat memengaruhi masyarakat. Kita tahu, yang
mengontrol media memiliki peluang mengontrol pikiran. Karenanya, duplikasi kebaikan dapat disebarkan
secara optimal melalui media massa.
Sebagai penutup, 2018 adalah tahun yang tepat
untuk kita semua, warga negara Indonesia, menjadikan PSR sebagai gaya hidup
karena PSR ‘memanusiakan’ kembali
manusia yang mengalami dehumanisasi karena berbagai terpaan kehidupan. PSR juga
dapat berperan signifikan untuk mewujudkan cita-cita luhur pendahulu kita,
yaitu Indonesia negara sejahtera adil dan makmur.
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Pantun Bijak Pakai Antibiotik Hadiah dari Sahabat, Bp. Fachrodji Kepala Balai Pustaka Indonesia