Antibiotik: Pembunuh Diam-Diam
Terbit di Koran Sindo, 19 Mei 2018
Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, dalam laporan pada 2014 menyebut bahwa resistan (tahan) terhadap antimikroba (antimicrobial resistant / - AMR) merupakanan ancaman pada kesehatan masyarakat secara global.
Resistan antimikroba sangat berbahaya dan menakutkan karena kondisi ini berpotensi menimbulkan kematian dini. Sayangnya, negara berkem bang memiliki risiko tertinggi karena kurangnya orang, dana, dan infrastruktur. Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh anti mikroba. Penisilin adalah antibiotik yang pertama kali di temukan oleh Alexander Fleming pada 1928.
Obat ini digunakan untuk melawan infeksi karena bakteri atau untuk menghambat pertumbuhan bakteri pada manusia. Penderita penyakit karena infeksi sederhana saja, mungkin akan bertahan hidup singkat tanpa antibiotik. Fleming dianugerahi penghargaan Nobel karena penemuannya berdampak besar pada dunia kesehatan.
Secara alamiah, manakala kuman tidak dapat lagi dibunuh dengan dosis antibiotik yang biasa digunakan, kemungkinan kuman telah resistan terhadap antibiotik. Beberapa bakteri yang resistan akan berubah, beradaptasi, dan mempertahankan diri, menjadi generasi baru yang lebih kuat lagi atau berbeda. Bakteri yang lebih kuat perlu diatasi dengan antibiotik yang lebih kuat. Sayangnya, ruang pertarungan tersebut adalah tubuh kita.
Resistan antibiotik adalah situasi serius, masalah global dan lintas batas geografis. Di dunia, sekitar 30-80% penggunaan antibiotik tidak ber dasarkan indikasi. Pada 2013, WHO menyebut adanya 480.000 kasus baru multidrugresistant tuberculosis (MDR-TB) di dunia. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa bakteri membutuhkan 1-2 tahun untuk resistan setelah terpapar antibiotik yang tidak tepat.
Sementara menciptakan antibiotik generasi baru membutuhkan waktu 5-20 tahun. Proporsi resistan terhadap bak teri, juga berbeda lintas negara, yaitu antara 0-82%. Di Amerika, 2 juta orang tiap tahun mengalami resistan terhadap antibiotik dan 23.000 orang meninggal karena resistan. Di beberapa bagian di negara Australia, 80% infeksi yang disebabkan oleh bakteri staphylococcal sudah tidak bisa disembuhkan dengan produk antibiotik standar.
Saat ini, setiap tahun diperkirakan sekitar 700.000 orang di dunia meninggal akibat resistensi antibiotik. Hasil sebuah penelitian pada 2015 oleh sebuah lembaga di bawah pemerintah Inggris memprediksi bahwa di dunia akan terjadi 10 juta kematian setiap tahun dan 300 juta orang akan meninggal karena resistan terhadap obat dalam 35 tahun sejak 2016 hingga 2050.
Risiko ekonomi ketika masalah resistensi antibiotik ini tidak dikendalikan dengan baik adalah antara USD60-100 triliun. Mengapa resistan? Penyebab utamanya karena kesalahan pengonsumsian antibiotik; penggunaan antibiotik yang tidak sampai habis sehingga bakteri tidak mati secara keseluruhan, yang selanjutnya menghasilkan bakteri baru yang lebih kuat. Silakan cek di kulkas atau kotak obat keluarga, adakah antibiotik di sana.
Data di Indonesia menunjukkan, rumah tangga yang menyimpan antibiotik, sejumlah 69% sebagai obat sisa dan 31% sebagai persediaan (Riskesdas 2013). Bagaimana keluarga memperoleh antibiotik juga menarik untuk ditelaah. Untuk memperoleh pengobatan instan, konsumen langsung ke apotek, toko obat atau warung, membeli tanpa resep dokter.
Pasien juga tak jarang mendesak dokter untuk meresepkan di luar indikasi medis. Yang lebih menantang, beberapa produk dianggap permen pelega tenggorokan yang dikonsumsi sesukanya. Kontras dengan negara maju, ketika anak sakit flu, dokter menyarankan, “konsumsi sup hangat, beri pelukan, istirahat cukup”, tanpa obat. Mana kala berulang kali ke dokter dengan isu yang sama, dokter baru akan meresepkan antibiotik.
Ternyata, tak hanya masyarakat awam, hasil studi pengembangan kebijakan pengendalian resistensi antimikroba di Indonesia oleh Litbang Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan WHO (2015) menunjukkan bahwa tenaga medis (dokter) dan tenaga kesehatan (perawat, apoteker, bidan) melakukan pengobatan irasional.
Sosialisasi kebijakan dan pengawasan pihak regulator masih lemah. Sementara itu, kepentingan ekonomis dari fasilitas kesehatan swasta, serta industri farmasi yang tak jarang melakukan strategi marketing tidak etis. Selain obat pada manusia, antibiotik juga digunakan untuk peternakan, pertanian, dan perikanan.
Dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan, peternak menyuntik sendiri sapi perah dengan antibiotik. Peternakan kecil yang jumlahnya banyak juga sulit diawasi. Di Indonesia, residu antimikroba pada ikan atau udang untuk ekspor sudah diperiksa, tapi belum untuk kebutuhan dalam negeri.
Penggunaan pestisida pada pengendalian hama tanaman juga perlu perhatian lebih serius. Pengaturan nasional terkait penggunaan antibiotik sudah ada. Meski demikian, regulasi ini perlu disosialisasikan secara intensif kepada se mua pihak yang terkait serta benarbenar dikawal implementasinya.
Tantangannya, resistensi pada antibiotik bagaikan pembunuh yang ada di sekitar kita, datang diam-diam, dan sedikit sekali dari kita yang menyadarinya. Bagai katak di dalam air lalu diberi api di bawahnya. Air akan menjadi hangat, hangat dan panas, lama-lama katak mati begitu saja.
Saatnya kita bergandengan tangan memberikan kontribusi besar ataupun kecil, untuk memperbaiki potensi ancaman pada kesehatan global ini. Semua pihak, termasuk masyarakat, perlu memahami betul pentingnya menggunakan antibiotik secara bijak dan bertanggung jawab.
Leila Mona Ganiem dan Indah Suksmaningsih
Wakil Indonesia dalam Dialog WHO & NGO tentang Antimicrobial Resistant/AMR di Jenewa bulan Mei 2018
No comments:
Post a Comment