Thursday, May 31, 2018

Tuberkulosis dan PSR



Tuberkulosis dan PSR

https://opini.telegraf.co.id/2018/05/30/tuberkulosi-dan-psr/
Terbit di Telegrafi
(Last Updated On: 30/05/2018)
Telegrafi – Di dunia, tuberkulosis (TBC atau TB) adalah penyakit infeksi mematikan pertama. Sepertiga penduduk di muka bumi terjangkiti kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi penyakit ini. Asia menjadi penyumbang signifikan kasus TB, yaitu sebesar 33%. Saat ini, di dunia terdapat 22 negara yang dianggap memiliki beban penyakit TB yang tinggi. Penyakit TB terus meningkat karena adanya TB resisten obat ganda (multidrug-resistant tuberculosis, MDR-TB) yang mencapai 3,7% kasus baru.
Indonesia menempati urutan kedua tertinggi, setelah India dan diikuti China. Penyakit TB ini juga merupakan penyakit mematikan nomor tiga di Indonesia (2016). Menurut data Forum Stop TB Partnership Indonesia (FSTPI), sepanjang 2016 ada 274 kasus kematian per hari yang disebabkan oleh penyakit ini. BPJS mendanai lebih dari 190 miliar rupiah untuk TB pada tahun 2015 saja.
Penyakit paru ada seusia keberadaan manusia. Menurut de Langen dan van Joost, dugaan tertua penyakit TB di Indonesia, terukir dalam relief di Candi Borobudur. Artinya TB telah ada ketika candi tersebut dibangun. Masalah TB juga merupakan isu yang menggelisahkan penjajah, sehingga pemerintahan kolonial Hindia Belanda merasa perlu membentuk lembaga khusus yang bernama Stichting Centrale voor Tuberculose Bestrijding (SCVT) tahun 1930. Hingga kini, TB masih juga menjadi problem nasional.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular paru-paru yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini kadang disebut ‘flek paru’, meski bisa menjangkiti organ tubuh lain. Gejala klasik pada penderita TB dapat berupa batuk, berat badan turun, tidak nafsu makan, demam, keringat di malam hari, batuk berdarah, nyeri dada, dan lemah.
Proses penyebaran gejala TB bisa terjadi dengan cara yang sangat mudah . Penderita TB yang batuk atau meludah dapat dengan tidak sengaja menularkannya. Bakteri menyebar dengan cepat melalui udara kemudian masuk ke lingkungan lain seperti air dan tanah. Mereka yang beresiko memiliki penularan lebih tinggi adalah orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, pengidap HIV/AIDS, diabetes, atau orang yang sedang menjalani kemoterapi, orang yang mengalami malnutrisi, perokok, pecandu narkoba, orang yang kerap kontak dengan penderita TB aktif, dan mereka yang kesulitan mendapat akses pelayanan kesehatan.
Penyakit TB tidak hanya isu biomedis, namun banyak terkait sosiokultural. Karena itu, dukungan sosial sangat diperlukan. Beberapa pertimbangan yang penting dicermati adalah:
Pertama, bakteri TB sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobati- setidaknya konsumsi obat sekitar 6 bulan sampai dinyatakan sembuh oleh dokter. Apabila pengobatan dihentikan, maka penderita beresiko kambuh dan kuman menjadi resisten.
Kesalahan manusia berkontribusi terbesar pada kasus resistensi antibiotic pada TB. Secara spesifik diantaranya karena ketidaktaatan pasien minum obat secara teratur, dosis obat, lama pengobatan dan kegagalan memengaruhi penderita untuk menyelesaikan program pengobatan. Kurangnya disiplin pada pengobatan berdampak pada kegagalan pengobatan. Akibatnya penyembuhan jauh lebih sulit, lebih lama dan bahkan menyebar ke bagian tubuh lain yang berpotensi mengancam jiwa.
Kedua, stigma yang tidak menyenangkan diterima oleh penderita TB di Indonesia memperpanjang resiko sakit dan penularannya. Penderita menerima beragam diskriminasi dan kekerasan psikologis seperti pengabaian, perbedaan perlakuan, penghindaran, pengusiran, pengasingan, pelecehan, penghakiman berdasarkan moralitas, digiring mengundurkan diri atau dipecat dari tempat kerja; bahkan kekerasan fisik. Dampaknya, penderita menjadi depresi, takut, rendah diri, malu, menutup diri dari pergaulan dan putus asa.
Hadirnya labelisasi negatif yang disematkan pada penderita dan konsekuensi sosial ekonomi yang merugikan, menyebabkan penderita dan keluarga malu mengakui adanya penyakit TB. Pekerja penderita sangat mungkin menyembunyikan penyakitnya, karena pertimbangan keberlangsungan kerja dan kebutuhan hidup. Akibatnya epidemi penyakit TB tetap hidup dan leluasa menyebar.
Tekanan sosial mendukakan dan menduplikasi keburukan merupakan bentuk perilaku yang tidak bertanggung jawab sosial. Padahal, Rasulullah SAW mengajak manusia untuk senantiasa memastikan keberadaan hidupnya membawa kemaslahatan bagi sesama.
Sebagai individu, kita dapat berkontribusi mencegah dan memberantas masalah TB melalui pendekatan yang sesuai dengan jiwa masyarakat Indonesia yaitu, konsep PSR.
PSR adalah Personal Social Responsibility atau Tanggung Jawab Sosial Individu pada masyarakat. PSR adalah ide personal dari CSR (Ganiem, Ambadar, Soekardjo, 2015). August Comte, filsuf Perancis abad ke 18, percaya bahwa individu memiliki kewajiban moral untuk berkhikmat bagi kepentingan orang lain atau kebaikan manusia yang lebih besar.
Bentuk kebaikan dalam PSR dapat diejawantahkan melalui uang, pikiran, tenaga, waktu atau perasaan.
PSR atau tanggung jawab sosial dari penderita TB agar tidak menulari orang lain- dapat dilakukan dengan menginformasikan kondisinya dan mengajukan dukungan dari lingkungan terdekat. Meminimalisir kontak dengan orang sehat. Saat batuk, penderita sebaiknya menutupi mulut dan memalingkan muka agar tidak mengenai orang lain. Menggunakan masker ketika bepergian. Memilih tempat tertutup kala membuang ludah. Jika ludah bercampur darah, penderita segera ke puskesmas atau ke rumah sakit. Mencuci peralatan makan dan minum yang digunakannya sampai bersih.
Bagi bukan penderita TB, PSR dapat diberikan dalam bentuk empati, lebih peduli mengingatkan agar penderita taat berobat, tidak memberikan stigma negatif, membiayai, memberikan edukasi pada penderita; mendorong berdirinya komunitas kesehatan di daerahnya sehingga ada ruang berbagi rasa dari sesama yang dipandu profesional kesehatan; mendidik masyarakat dengan menyebarkan informasi yang akurat tentang TB di media sosial, dll.
Kegotongroyongan PSR ini diharapkan dapat memanusiakan kembali penderita, meningkatkan pemahaman dan tanggung jawab penderita pada diri dan orang lain, memastikan perilaku hidup sehat yang tidak beresiko menularkan dan membawa kemaslahatan bersama.
Ketika masing-masing dari masyarakat berkontribusi untuk penanggulangan masalah TB, maka peluang pemberantasan penyakit di bumi Indonesia dan di dunia dapat diharapkan tercapai. Tentu saja dukungan pengobatan sangat diperlukan. Kementerian Kesehatan memimpin pelaksanaan yankes agar agenda bersama memberantas TB tahun 2050 dapat tercapai.
Sepakat dengan WHO, tak seorangpun boleh ditinggalkan, mari bersinergi mengakhiri tuberkulosis, dengan PSR.

Oleh : Leila Mona Ganiem, Akademisi dan Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia. Photo : Shutterstock

Wednesday, May 23, 2018

Bijak Menggunakan Antibiotik





Bijak Menggunakan Antibiotik




Dibuat oleh : Adam Arlei Dipodiwiryo

Pantun Bijak Pakai Antibiotik






Pantun Bijak Pakai Antibiotik






Hadiah dari Sahabat, 
Bp. Fachrodji
Kepala Balai Pustaka Indonesia


Antibiotik: Pembunuh Diam-Diam

Image result for antimicrobial resistance

Antibiotik: Pembunuh Diam-Diam

Terbit di Koran Sindo, 19 Mei 2018


Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, dalam laporan pada 2014 menyebut bahwa resistan (tahan) terhadap antimikroba (antimicrobial resistant / - AMR) merupakanan ancaman pada kesehatan masyarakat secara global. 

Resistan antimikroba sangat berbahaya dan menakutkan karena kondisi ini berpotensi menimbulkan kematian dini. Sayangnya, negara berkem bang memiliki risiko tertinggi karena kurangnya orang, dana, dan infrastruktur. Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh anti mikroba. Penisilin adalah antibiotik yang pertama kali di temukan oleh Alexander Fleming pada 1928. 

Obat ini digunakan untuk melawan infeksi karena bakteri atau untuk menghambat pertumbuhan bakteri pada manusia. Penderita penyakit karena infeksi sederhana saja, mungkin akan bertahan hidup singkat tanpa antibiotik. Fleming dianugerahi penghargaan Nobel karena penemuannya berdampak besar pada dunia kesehatan. 

Secara alamiah, manakala kuman tidak dapat lagi dibunuh dengan dosis antibiotik yang biasa digunakan, kemungkinan kuman telah resistan terhadap antibiotik. Beberapa bakteri yang resistan akan berubah, beradaptasi, dan mempertahankan diri, menjadi generasi baru yang lebih kuat lagi atau berbeda. Bakteri yang lebih kuat perlu diatasi dengan antibiotik yang lebih kuat. Sayangnya, ruang pertarungan tersebut adalah tubuh kita. 

Resistan antibiotik adalah situasi serius, masalah global dan lintas batas geografis. Di dunia, sekitar 30-80% penggunaan antibiotik tidak ber dasarkan indikasi. Pada 2013, WHO menyebut adanya 480.000 kasus baru multidrugresistant tuberculosis (MDR-TB) di dunia. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa bakteri membutuhkan 1-2 tahun untuk resistan setelah terpapar antibiotik yang tidak tepat. 

Sementara menciptakan antibiotik generasi baru membutuhkan waktu 5-20 tahun. Proporsi resistan terhadap bak teri, juga berbeda lintas negara, yaitu antara 0-82%. Di Amerika, 2 juta orang tiap tahun mengalami resistan terhadap antibiotik dan 23.000 orang meninggal karena resistan. Di beberapa bagian di negara Australia, 80% infeksi yang disebabkan oleh bakteri staphylococcal sudah tidak bisa disembuhkan dengan produk antibiotik standar. 

Saat ini, setiap tahun diperkirakan sekitar 700.000 orang di dunia meninggal akibat resistensi antibiotik. Hasil sebuah penelitian pada 2015 oleh sebuah lembaga di bawah pemerintah Inggris memprediksi bahwa di dunia akan terjadi 10 juta kematian setiap tahun dan 300 juta orang akan meninggal karena resistan terhadap obat dalam 35 tahun sejak 2016 hingga 2050. 

Risiko ekonomi ketika masalah resistensi antibiotik ini tidak dikendalikan dengan baik adalah antara USD60-100 triliun. Mengapa resistan? Penyebab utamanya karena kesalahan pengonsumsian antibiotik; penggunaan antibiotik yang tidak sampai habis sehingga bakteri tidak mati secara keseluruhan, yang selanjutnya menghasilkan bakteri baru yang lebih kuat. Silakan cek di kulkas atau kotak obat keluarga, adakah antibiotik di sana. 

Data di Indonesia menunjukkan, rumah tangga yang menyimpan antibiotik, sejumlah 69% sebagai obat sisa dan 31% sebagai persediaan (Riskesdas 2013). Bagaimana keluarga memperoleh antibiotik juga menarik untuk ditelaah. Untuk memperoleh pengobatan instan, konsumen langsung ke apotek, toko obat atau warung, membeli tanpa resep dokter. 

Pasien juga tak jarang mendesak dokter untuk meresepkan di luar indikasi medis. Yang lebih menantang, beberapa produk dianggap permen pelega tenggorokan yang dikonsumsi sesukanya. Kontras dengan negara maju, ketika anak sakit flu, dokter menyarankan, “konsumsi sup hangat, beri pelukan, istirahat cukup”, tanpa obat. Mana kala berulang kali ke dokter dengan isu yang sama, dokter baru akan meresepkan antibiotik. 

Ternyata, tak hanya masyarakat awam, hasil studi pengembangan kebijakan pengendalian resistensi antimikroba di Indonesia oleh Litbang Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan WHO (2015) menunjukkan bahwa tenaga medis (dokter) dan tenaga kesehatan (perawat, apoteker, bidan) melakukan pengobatan irasional. 

Sosialisasi kebijakan dan pengawasan pihak regulator masih lemah. Sementara itu, kepentingan ekonomis dari fasilitas kesehatan swasta, serta industri farmasi yang tak jarang melakukan strategi marketing tidak etis. Selain obat pada manusia, antibiotik juga digunakan untuk peternakan, pertanian, dan perikanan. 

Dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan, peternak menyuntik sendiri sapi perah dengan antibiotik. Peternakan kecil yang jumlahnya banyak juga sulit diawasi. Di Indonesia, residu antimikroba pada ikan atau udang untuk ekspor sudah diperiksa, tapi belum untuk kebutuhan dalam negeri. 

Penggunaan pestisida pada pengendalian hama tanaman juga perlu perhatian lebih serius. Pengaturan nasional terkait penggunaan antibiotik sudah ada. Meski demikian, regulasi ini perlu disosialisasikan secara intensif kepada se mua pihak yang terkait serta benarbenar dikawal implementasinya. 

Tantangannya,  resistensi pada antibiotik bagaikan pembunuh yang ada di sekitar kita, datang diam-diam, dan sedikit sekali dari kita yang menyadarinya. Bagai katak di dalam air lalu diberi api di bawahnya. Air akan menjadi hangat, hangat dan panas, lama-lama katak mati begitu saja. 

Saatnya kita bergandengan tangan memberikan kontribusi besar ataupun kecil, untuk memperbaiki potensi ancaman pada kesehatan global ini. Semua pihak, termasuk masyarakat, perlu memahami betul pentingnya menggunakan antibiotik secara bijak dan bertanggung jawab. 

Leila Mona Ganiem dan Indah Suksmaningsih 
Wakil Indonesia dalam Dialog WHO & NGO tentang Antimicrobial Resistant/AMR di Jenewa bulan Mei 2018 


Bagi Pahlawan Kesehatan