Sunday, May 08, 2011

'Terinspirasi Sahabat',



 



Oleh: Leila Mona Ganiem
Republika, 5 Nov 2010

Berkah itu Bernama Haji.
Tahun 1993 saya terkesima mendengar Ita, seorang sahabat,
 menunaikan ibadah haji, menggantikan ibunya yang sakit.
Kabar itu sangat bermakna.
Ada doa mendalam, saya hantarkan setelahnya.

 

Sambil menangis saya berdoa,
”Ya Allah, saya juga ingin diundang ya Rabbi, dengan cara-Mu...”.

Secara matematis, saya sama sekali belum dapat membayangkan bagaimana memperoleh
aliran dana untuk perjalanan mulia itu.

Tahun 1993 saya bertugas di KBRI Islamabad.
Seorang sahabat memberi kenang-kenangan buku berjudul ‘Haji’ dari Ali Shariati.
Buku itu masih dalam plastik.
Saya berfikir, suatu saat akan meluangkan waktu membacanya.


 Ketika itu, gaji dólar, belum menikah.
Toko disana tidak berserakan, sehingga situasinya tidak mendukung menjadi konsumeris.
 Teman-teman bilang, “disini, uangnya ada, yang mau dibeli, ngak ada!
Udah, kumpulin duit tiga-empat bulan, kamu bisa berangkat haji!”
 

Sungguh, pernyataan itu menginspirasi.
Dalam suatu diskusi dengan mahasiswa Indonesia yang belajar agama disana,
saya mencari tahu apakah untuk berhaji kita harus sudah menguasai
dan melaksanakan ajaran dengan benar?

Rasanya itu kecemasan banyak orang.
Yang jika belum teryakinkan, membuat dirinya mengabaikan peluang yang tersedia.
Jawaban mereka membulatkan tekad saya, bahwa ketetapan terpenting adalah ’Niat’.

“Salah satu resep ampuh untuk diundang ke Haji,
adalah memandangi terus gambar Ka’bah atau Multazam, sambil terus berdoa, Insya Allah terkabul”
saran seorang teman.


 


Saya lakukan dengan khusyu, setiap hari.
Alhamdulillah, tahun 1994, saya berangkat.
Gambar itu, hingga kini, selalu saya bawa kemanapun saya pindah.

Karena khawatir perjalanan itu hanyalah ilusi, tak seorangpun dari keluarga di Indonesia saya beri tahu.
Sehari sebelum keberangkatan, saya berkabar pada orang tua,
sambil mohon doa restu. Mereka menitikkan airmata. Haru.

Seluruh perjalanan itu luar biasa.
Gejolak batin yang melimpah.
Doa, air mata, harap, pasrah, malu, takut, semua ruah...

Pastinya, pertama kali menatap Ka’bah, airmata tak terbendung.
Syukur dan takjub tak habis-habisnya menikmati berkah sangat penting ini.
Tahun itu ada peristiwa Mina.


 


Dirombongan kami ada Dubes RI untuk Afghanistan,
sehingga, meski alat komunikasi belum secanggih sekarang,
kabar mengenai berbagai kejadian, cukup update.

Salah satu anggota rombongan, menceritakan keindahan buku-buku
yang dia baca untuk memaknai berbagai scene perjalanan itu.
Saya senantiasa mengagumi paparannya yang menikmati haji dengan keluasan pemikiran.

Salah satu buku yang dia sebut berjudul ’Haji’ dari Ali Shariati!
Ketika pulang, dalam dua minggu, getaran pesona Ka’bah...
harumnya, teduhnya, dinginnya, megahnya, tenangnya.... semua masih sangat kuat terasa.

Sungguh saya berada dalam situasi liminal,
situasi antara berada dalam suasana berhaji dengan segala ritualnya,
dan berada kembali kerutinitas kantor.

 

Kadang reaksi fisikpun masih aktif dengan skedul ketat ibadah di tanah suci.
Segera saya baca buku yang masih terbungkus plastik itu.

Beberapa pemikiran Ali saya sepakati.
Sebuah syair yang hingga kini selalu menginspirasi adalah kutipan dari penyair Parsi,  Naser Khosrow.
Syair itu menjadi bacaan indah untuk meluruskan hati saya
sebelum berkunjung ke Makkah pada kesempatan berikutnya.

Dalam epilog itu, Naser menggambarkan kunjungannya pada seseorang yang telah berhaji.
Banyak orang datang untuk bertanya kepadanya,
bagaimanakah ia menempuh perjalanan yang sangat sulit dan menakutkan itu
(sebagai catatan Khosrow lahir tahun 1004-1088, ketika itu perjalanan menggunakan jalan darat).

Berikut saya uraikan beberapa cuplikan dibawah ini.

Kepadanya aku bertanya:
Setelah melepas pakaian dan hendak mengenakan ihram,
Di saat-saat hati menggelora itu, apakah ”niat”mu?

Telah engkau tinggalkankah segala sesuatu yang harus engkau tinggalkan? ...
Tetapi jawabnya: Tidak!


 

Kepadanya aku bertanya:
Ketika masuk ke dalam Ka’bah...
Tidakkah dibuangnya sikap mementingkan diri sendiri? ...
Tetapi jawabnya: Tidak!


Kepadanya aku bertanya:
Ketika berkorban, untuk makanan orang-orang yang lapar dan anak-anak yatim, bukan Allah-kah yang pertama kali dipikirkannya? Dan setelah itu tidakkah ia membunuh ketamakan di dalam dirinya?
Tetapi jawabnya: Tidak.

 

Kepadanya aku bertanya:
Kini, setelah kembali ke Mekkah, dan rindu kepada Ka’bah,
Tidakkah ’akunya’ terkubur disana?
Tetapi jawabnya: Tidak
...

”Semua yang engkau pertanyakan ini, tidak satupun yang kumengerti!”
Maka kepadanya aku berkata:

Wahai Sahabat! Sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji! 
Sesungguhnya engkau belum taat kepada Allah.
Memang engkau telah pergi ke Mekkah untuk mengunjungi Ka’bah!
Memang engkau telah menghamburkan uang untuk membeli kekerasan padang pasir!
Jika engkau berniat hendak melakukan ibadah haji sekali lagi,
Berbuatlah seperti yang telah kuajarkan ini!.


Doa mencintai Tubuh (Analisa Sosiologi Komunikasi)


Leila Mona Ganiem
Minggu 24 October 2010


Sahabat saya, Ika, 
menulis email berisi doanya seperti ini... 

"Oh Tuhan, hantarkan diri hamba agar tidak selalu terganggu 
dengan provokasi yang menyakitkan yang membuat hamba 
merasa benci pada kaki dan perut hamba"




Faktor stimulusnya banyak.!
Bombardir media, teman, fashion model yang mengatakan 'mereka tahu'
sosok ideal tubuh perempuan itu seperti apa,
Hingga perusahaan kosmetik yang sok tahu dengan krim memperkuat pertahanan alami kulit
karena tekanan kerja, kelelahan, usia dan persoalan hidup lainnya.

Kemarahannya memang menghentak kesadaran saya.

Lalu kami diskusi.


Menurut saya tampilan agar indah, membuat nyaman dan bangga dengan diri sendiri,
serta menyenangkan lingkungan, perlu dalam hidup kita.


 


Ada sebuah konsep yang melegakan
"terimalah dirimu karena itu akan menjadi milikmu seumur hidupmu"
Namun tanpa upaya apapun, menerima proses alami yang perlahan hadir...
adalah sebuah kenaifan.




Analoginya adalah,

jika kita bisa membenahi rumah kita agar tampak nyaman, 
mendekorasi kembali, mengecat dan memasang gambar 
serta bunga indah yang kita mampu miliki, 
kenyamanan dirumah akan lebih kita nikmati.


Kecantikan adalah seni. 

Kita bisa menatanya seperti seorang arsitek, designer, pelukis, pemahat, perias.
Ini mengenai proporsi. Ini juga mengenai waktu, dan kemauan...

Bisakah kita menyempatkan waktu sekilas menikmati sela produktif dalam berkarya
untuk menyamankan diri dan orang yang kita cintai?

"Negosiasinya begini", kata saya pada Ika,

"bagaimana jika kita nikmati diri, terima keindahannya yang sempurna dari Tuhan,
lalu kita merawat dan menatanya dengan seni...
semua dapat berjalan sebagai fun moment"



Tidak perlu senantiasa sibuk dengan meningkatkan ketelitian
mencari bagian mana yang perlu permak.
Butuh biaya besar dan waktu sangat banyak agar selalu
seperti Krisdayanti atau Julia Robert.

 


Perut yang menggelambir karena usia atau melahirkan adalah proses alami yang indah...
menerima bagian tubuh itu adalah fitrah yang sangat manusiawi.

Kaki yang lebar dan kerutan disudut mata dan bibir adalah 
refleksi kematangan, kebijaksanaan dan keindahan....

Tak mungkin kulit seseorang akan senantiasa seperti bayi. 

 

Tak adil jika kita mendamba raut dan keranuman remaja  
sementara kita menikmati masa guna yang lebih panjang.


Namun sekali lagi marilah kita merawatnya dengan cinta...
menikmatinya sebagai hobbi....semangat menikmati seutuhnya...

Tanpa beban, tanpa pemujaan berlebih pada sosok model 
yang mengaburkan keindahan bentuk diri, 

tanpa ketakutan pada umur, 

tanpa lelah dan marah pada simbol-simbol yang setiap menit 
dimunculkan didepan kita oleh para pekerja kreatif dari multinasional corporation.


Hidup adalah pilihan...
dari pilihan tersebut, mari kita pilih terbaik.

Mencintai kaki kita apapun bentuknya,
menerima rambut kita yang kian meng-abu,
berdamai dengan apapun reaksi kulit atas alam...
namun senantiasa merawat dan menatanya dengan riang...


Terima kasih Ika, atas curhat yang mencerahkan...

KDRT di Rumahku



KDRT  di Rumahku





oleh Leila Mona Ganiem

Rafi, anak keduaku (6,5 th) mengomel karena Adam (9,5 th), sang kakak mengolok-olok terus.
Uang lima ribuan yang tidak seberapa itu, menjadi pemicu kekerasan verbal yang terjadi.
Dari dua lembar lima ribuan yang ada, satu masih licin, satu lagi agak lecek.

Adam memilih lebih dahulu, adiknya terpaksa menerima versi lecek.


Adam membanggakan diri dengan mengatakan bahwa uangnya langsung berasal dari Bank Indonesia. 






Rafi menghampiriku sambil menggerundel seperti lalat.
Dia minta uangnya diganti dengan yang licin.
Aku diam saja.
Tanpa ekspresi.
Aku memilih tidak mau terjebak oleh manipulasi kata sang kakak.

Aku memang kerap memilih bereaksi diam atau mengangguk-angguk
dalam berbagai urusan konflik sibling ini

                                                       
.


Untuk update beruntun yang silih berganti dari dua pangeranku,
aku cenderung memilih bersikap seperti itu.

Kadang Aku katakan, ”Bang (atau Dek), jangan gitu...” dengan nada datar tanpa emosi.
Sesekali salah satu dari mereka komplain karena merasa tidak menikmati keberpihakan.

Suamiku menterjemahkan emosi tersebut seperti ini,
”Bunda mau ngomong kalo ’Bunda mengerti’, bukan setuju atau nggak setuju”.

Beberapa menit kemudian terdengar tangisan Adam,
”Adam ngak ngapa-ngapain, ditendang Dede (Rafi).”

 



Rafi menyahut,
”Abisnya Abang nyebelin Dede terus, ngata-ngatain Dede uangnya jelek, ngak laku...”
katanya membela diri...

Adam berkelit bernada tinggi, ”Lu juga bales ngata-ngatain dong... jangan pake pukul pukuuul!”
”Dede, kan ngak bisa bales omongan... susah...!” kata Rafi menggerutu...

Aku terpingkal dalam hati.
The real monopoly is never that of technical means, but of speech,
begitu kata Jean Baudrillard. Bahasa memang media dominasi dan kekuasaan (Habermas, 1967).


 


Bahasa memang mampu menyakiti atau memuliakan orang.
Ketidaktepatan penggunaan bahasa mampu memicu konflik.
Setiap kata mengandung makna dan makna itu terbentuk
berdasarkan persepsi dan interpretasi orang yang terlibat dalam proses komunikasi.


 

Bahasa merupakan bagian penting dari kehidupan.
Orang tidak bisa hidup tanpa bahasa.
Setiap gerak kehidupan manusia berkaitan dengan bahasa.

Kemahiran berbahasa bersifat dinamis dan berkembang.
Menurut Piaget (1976), ada perkembangan nalar kognitif tertentu diusia 0-12 tahun dengan empat tahap yang berbeda.

Cara interpretasi informasi juga berkembang sesuai usia.
Batas bahasaku adalah batas duniaku (Wittgenstein, 1992).
Untuk melakukan kegiatan berfikir dengan baik, peranan bahasa adalah signifikan.


 


Bahasa memberikan urunan besar dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa.
Suatu tata bahasa yang dirangkai dapat mengemukakan buah pikiran, perasaan dan sikap.
Max Muller mengatakan bahwa tak ada bahasa tanpa nalar, dan tak ada nalar tanpa bahasa..


 


Bahasa mempengaruhi pikiran pemakainya.
Bahasa mempunyai kekuatan membentuk pikiran, menyalurkan perasaan, mengerahkan kehendak dan perbuatan.
Sampai tingkat tertentu, bahasa mengendalikan pemikiran.
Dan pengaruh bahasa sangat kuat pada usia muda.






Kemampuan memilih kata yang teratur dan sistematis membutuhkan asahan dan asupan yang mumpuni. Karenanya jelas saja perbendaharaan dan pilihan kata anak kelas 2 dan 5 SD, berbeda.

Memang benar, kemampuan verbal dapat menjadi ’Dominasi Penuh Muslihat’,
 demikian kata Haryatmoko (2010).

Kekerasan simbolik yang sampaikan Adam melalui kata-kata terbukti dibalas
dengan kekerasan fisik oleh Rafi.

Meski masih dalam tataran yang dapat dimaklumi bahkan menggelikan, pada kasus pangeranku.
Sebuah contoh real yang menarik untuk dikaji.





Segera kususun strategi sebagai perilaku tandingan.
Saat sahur, aku urai pentingnya memilih kata yang baik.
Kami berempat, aku, suami dan dua anakku, saling mengatakan hal baik satu sama lain.

Giliran Adam tiba. Pilihan katanya sangat lancar ketika ditujukan padaku dan ayahnya.
Namun sewaktu mengurai hal positif tentang Rafi, mulai ada yang tersekat ditenggorokan.

”Dede (Rafi) itu....apa ya.....Adam bingung... oh ya, pinter”, kata Adam butuh waktu.
”He eh... Terus apa lagi,” kataku.
"Dede bisa gambar, .....tapi bagusan Adam," katanya.
"Ngak ada tapi.... tapinya ilang.... terus apa lagi...," ujar sang Ayah. Aku mengangguk.
”Apa ya..........pinter lipet sajadah......” jawab Adam....
Masih saja butuh waktu...



Ramadhan hari ke 20
1 September 2010


Itu Pitnah! (Analisa Komunikasi Antarbudaya)




oleh: Leila Mona Ganiem

Understand the differences;
act on the commonalities.
(Andrew Masondo, African National Congress)



Dalam suatu siaran radio, ada Ibu Nana, seorang narasumber.
Ibu Nana ini menceritakan pengalaman pedih kehilangan anaknya.
Kisahnya menjelaskan sendiri keteguhan hati yang luar biasa
dari seorang ibu dalam situasi yang sangat sulit itu.


 


Keteguhan narasumber tersebut sangat menginspirasi banyak orang.
Telepon terus berdering.
Sms dan pesan melalui face book berdatangan mengomentari.
Atau memberi ungkapan salut atas keteguhan Ibu Nana.
Tiba-tiba ada telepon seorang mengomentari logat Ibu Nana ketika mengucapkan huruf ‘F’. “
Ibu Nana, ngomong ‘faktanya’ seharusnya pake F, bukan P, ‘paktanya’”



Dengan tenang Ardiyanti, penyiar radio tersebut, mengatakan,
“Mas Tono, maaf ya, saat ini kita sedang berbicara mengenai pelajaran hidup
yang sangat bermakna dari seorang ibu yang kehilangan anak.
Kita tidak tengah menganalisa logat seseorang.
Rasanya lebih penting bagi kita untuk berempati dengan kedukaan Ibu Nana,
dan belajar dari keteguhan perempuan hebat ini,
daripada memperbaiki logat beliau”
Alhasil selanjutnya pembahasan lebih mengarah pada cerita Ibu Nana.





Izinkan saya, melalui tulisan ini untuk memfokuskan pada pelafalan
huruf F, P, V yang sering bertukar pada orang Sunda.

Mengapa hal ini menarik?
karena hal ini kerap dianggap mengganggu, bahkan dari contoh cerita diatas,
ketika pembahasan suatu hal yang memang jelas-jelas berfokus pada sesuatu yang serius,
masih saja ada orang yang memperhatikan pelafalan huruf yang kerap bertukar ini.


Sebuah riset mengatakan bahwa logat seseorang yang berbeda dengan logat standar,
berpengaruh pada persepsi kredibilitas orang tersebut.
Artinya orang tersebut cenderung dianggap kurang kredibel.
Ada juga orang yang kerap menjadikan logat atau pelafalan suatu suku sebagai bahan tertawaan.

Memang, orang Sunda kerap tertukar antara huruf P, F dan V.
Orang China tampaknya kesulitan dengan lafal R.
Orang India dan Pakistan sering menukar huruf t, menjadi th.
Misalnya dalam kalimat ‘ I would like to eat banana’ pada kata to dibaca thu bukan tu.
Kira-kira agak mirip dengan logat Bali.
Semua itu merefleksikan warna-warni yang tercipta karena keunikan manusia.


Mengapa orang Sunda sulit mengucapkan huruf F?
Mungkin karena memang huruf “F” bukan huruf dan lafal asli daerah Sunda.
Huruf itu diperkenalkan oleh pedagang bangsa Arab, Persia dan Gujarat
yang sekaligus juga menyebarkan agama Islam di Jawa pada abad ke-13.







Hal yang menarik adalah suku Jawa, tetangga terdekat suku sunda,  tidak memiliki kesulitan yang sama dalam melafalkan huruf “F”,  kecuali beberapa masyarakat generasi sepuh di pedalaman Jawa.

Padahal, Jawa dan Sunda memiliki sejarah yang hampir sama dalam hal
interaksi dengan bangsa asing.


Dari beberapa tulisan yang saya gali,
ada yang memberikan kajian cukup logis, yaitu adanya perbedaan
proses internalisasi dari huruf F pada orang Jawa dan Sunda.

Umumnya huruf “F” tersebar ke masyarakat Jawa dan Sunda melalui bidang dakwah.
Huruf “F” lebih mudah diserap oleh masyarakat Jawa
karena beberapa anggota Wali Sanga di Jawa banyak menggunakan media seni dan budaya
sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat pada waktu itu.

Penyebaran tidak hanya dimesjid-mesjid,
melainkan juga melalui tembang-tembang yang dinyanyikan,  melalui pertunjukan-pertunjukan
seni yang mereka nikmati.

 

Meski di tatar Sunda, dakwah juga menggunakan media seni dan budaya,
seperti wayang golek, dangding, guguritan, tradisi upacara (sawer orok, tingkeban, dll).
Akan tetapi penggunaan media ini tidak seintens seperti di tanah Jawa.

Selain itu penggunaan media ini baru berkembang pasca Sunan Gunung Jati.
Sementara itu, naskah-naskah kuno Cirebon menjelaskan
 bahwa Sunan Gunung Jati memiliki kekuatan dalam bidang pengobatan.

Hal ini semua mendukung adanya keterbatasan akulturasi penggunaan huruf ”F” 
yang cenderung diterima oleh orang Sunda dalam bahasa Arab,
namun kurang tersosialisasi dalam ucapan sehari-hari.





Dengan demikian maklumlah
jika ada banyak pertukaran kata F, P, dan V, yang kita kerap dengar dari ucapan orang Sunda.
Misalnya pada kata
Fax menjadi Pak;  Vibreglass atau Pibreglass;  Over quality menjadi Oper kualiti;
Formalitas menjadi Pormalitas;  Servis menjadi Serpis;
Effendi menjadi Ependi; Geografis menjadi Geograpis; Fakta menjadi Pakta;
Vespa menjadi Pespa; Planet menjadi Flanet; Vagina menjadi Pagina; dll.

Mengingat ini adalah budaya, wajar saja bila kebiasaan ini adalah tindakan berulang.
Bahkan kadang kalangan berpendidikan tinggipun, masih kerap mengucapkan
atau menulis kekeliruan antara “F, P dan V”,
Jika mengacu bahwa yang dimaksud dengan ‘benar’ adalah versi Bahasa Indonesia.

Yang perlu jadi renungan,
siapkah kita, yang hidup dinegara multisuku ini memiliki pluralisme ujaran?
Bukankah secara etika komunikasi kita tidak diperkenankan
memandang rendah orang lain karena ia berbicara dengan aksen yang berbeda dari aksen kita.

Jadi ketika ditanya, “kenapa orang Sunda ngak bisa bicara huruf ‘F’?
dengan gaya khas orang Sunda yang suka lempar-melempar ungkapan lucu,  Yadi Mulyadi
menyeletuk membela diri ”Siapa bilang orang Sunda tidak bisa bilang “F”, itu Pitnah!,”


 

Dari buku: Beda Itu Berkah

Mohon Komentar bagi yang Telah Membaca "Beda itu Berkah"

Dear teman-teman,
Sebuah kehormatan bagi saya, bila Anda telah berkenan membaca buku "Beda itu Berkah"
Semoga Anda Menikmati Perjalanan Antarbudaya...

Ada dua kesungguhan yang saya ingin suarakan melalui tulisan itu
Pertama, mengajak untuk kita Bangga Menjadi Orang Indonesia
Kedua, mengajak untuk menjadi Manusia Antarbudaya... manusia yang bisa berkomunikasi dengan orang berbeda budaya.

Bagi saya, tulisan itu refleksi pengalaman batin dalam memaknai perbedaan.
Sebuah kejujuran yang dirangkai dalam bentuk lembaran.

Keterbukaan yang saya hadirkan melalui buku itu,
membuat sebagian yang ada dibenak saya mudah dilihat.
Perlu kesiapan hati untuk menerima konsekuensi suatu tindakan.

Pastinya ada pemaknaan beragam.
Ada yang berkenan, belajar dari kisah-kisah yang ada, fun, menikmati, atau bahkan sebaliknya, melihat banyak kekurangan yang mungkin sekali saya tidak sadari.

Sungguh, apapun itu, adalah hadiah bagi saya...

Pelajaran yang sangat berharga untuk mengukur sejauh mana perjalanan diri. Lantas perlu pembenahan seperti apa. Lalu berkarya seperti apa lagi...


Karena itu, melalui forum ini, izinkanlah saya memohon masukan, kritik, ungkapan, atau saran dari teman-teman.

Apapun itu, dengan tulus saya ucapkan. Terima kasih Sekali.

Salam hangat
Leila Mona Ganiem

Sebagian komentar-komentar ini dari Facebook:

Dedy El:
"dapat bukunya di Gramedia, yang pasti saya baca sekali 'jalan', karena sebagian besar "kisah2 perbedaan" yg dituturkan (penulis) adalah baru dan menarik sehingga membuat penasaran untuk segera menuntaskannya. Sekarang buku ini menjadi koleksi keluarga. Isteri saya juga menyukainya dan sudah selesai membacanya. btw, kok kurang tebal ya, hehe... Saya menunggu karya selanjutnya."
29 January 2010 at 20:14

Gusti Intan Sari:
"Tgg coment dr dirikw ya, yg jelas gw bgt nih buku,hehe..,btw lg dibaca niy blm kelar gantian ama the lost symbol dan brown,hehe...,oiya lupa CONGRATULATION yah atas terbitnya buku kak ella"
30 January 2010 at 05:24

Nadia Basir:
"waw.. buku pertama ya? menarik sekali judulnya.
aku belum baca tapi bakal pastinya. semoga sukses ya kak..
bangga deh sama dirimu :)"
30 January 2010 at 07:13

Anthon Kurniawan:
"buku i2 msh blm prnah ku baca.tp klo lihat judulnya pasti menarik tuk d telaah.selamat ats edisi perdananya mbak"
30 January 2010 at 11:08

Nina Ghaniem:
"
udah aku baca kak!! bagus, menarik, gaya bahasa nya enak, buat kita pengen baca sampai tuntas.. tapi ya itu tadi.. kurang tebel kayaknya.. , abis asyik bacanya.!! Ditunggu buku selanjutnya.." 30 January 2010 at 16:32

Nuha Noha Hlf:
"Seperti judulnya, buku ini InsyaAllah akan membawa berkah di kehidupan setiap pembacanya...berbagai kisah nyata dan berbagai kebudayaan yang dikemas dalam sebuah buku, yang penuh makna,dengan bahasa mudah dimengerti, ditambah dgn bumbu hum...or, sehingga tidak membosankan untuk dibaca, pesan dari buku ini pun sampai kepada pembacanya... ak pny 1 abah pny 1 jd gak berebutan bacanya... hehehehe... Dituggu Beda Itu Berkah 2.. :)"
30 January 2010 at 19:04

kalo ak sebenernya kurang suka sama warna coverya, kontra dgn pribahasa "dont judge the book from the cover"..hehehhe.. tapi buat ak tampilan luar juga penting supaya bisa mendukung isi buku yg sudah bagus.. kalo isi udh 99% sempurna.. :D30 January 2010 at 20:47

Hari Baron:
"
Catatan Beda itu Berkah :
1. Buku yang bagus cocok untuk hadiah/soevenir.
2. Karenanya mungkin perlu perbaikan untuk cetakan selanjutnya seperti hal 38, KUA itu mbak bukan kantor catatan sipil. Kemudian di hal 44, alenia ke 2 disitu disampaik...an tidak ada yg bisa bicara Jawa kecuali Anto. Namun di alenia ke 3, Sam bercerita dia ditertawakan ketika ngomong Jawa dengan temannya di Busway.
3. Tujuan buku ini mengatakan bahwa perbedaan selalu ada, dimanakan kita berada. Karena itu judul bukunya Beda itu Berkah. Namun kenapa hal 93 mbak menyarankan memilih pasangan yg sesuku saja...lebih aman.
4. Kata-kata mutiaranya kenapa ngak ada dari tokoh nasional/internasional dari Indonesia. Biar beda ya mbak.
4. Kenapa cerita tentang keluguan orang Aceh & orang Madura yg selama ini cendrung menjadi "candaan" tidak mbak masukkan.
5. Aku setiap minggu selalu beli buku, walaupun belum tentu langsung kubaca. namun kemarin sepulang kerja aku beli buku ini, langsung kubaca gantian sama istri dan selesainya esok pagi. sangat cepat. seperti aku baca novel Jhon Grisham. tapi buku mbak ini sangat menarik dan enak dibaca.
"
03 February 2010 at 13:41

Novida Irawan:
"
Bu Mona....Isi Bukunya menarik dan banyak sekali cerita-cerita budaya di sekitar kita yg secara tidak sadar sebenarnya hadir ditengah-tengah kehidupan kita....dan memberikan angin segar bagi saya tentang budaya... Punten secara pribadi saya kurang sreg sama covernya..."02 March 2010 at 07:52


Kematian Bahasa (Analisa Komunikasi Antarbudaya)




Oleh: Leila Mona Ganiem
Dari buku:   Beda itu Berkah, 2010

"I used to think that anyone doing
something weird was weird.
Now I know that it is the people who call
others weird who are weird."
Paul McCartney






Hari itu ada acara reunian teman kuliah dulu.
Sambil makan, obrolan sana-sini kian seru. Tiba-tiba telepon Anto berdering.
Dengan badan agak dimiringkan dan menutup handphone dengan tangan,
omongan Anto masih bisa kami dengar.

Semua percakapan berbahasa Jawa.
Kasak-kusuk diantara kami, terkagum-kagum.
Sseorang boss seperti Anto masih bisa berbicara dalam bahasa Jawa dengan luwes.
 

Bahasan bergeser seputar bahasa.
”Yang luar biasa dari Anto, orang Jawa yang sudah lama tinggal di Jakarta
masih ngomong bahasa Jawa!” kata Mira.

Dari 22 orang yang hadir, 8 orang Jawa, tapi umumnya mereka mengerti bahasa Jawa
hanya dipermukaan saja.
Untuk bicara dengan undak usuk bahasa, saya agak ragu kalau mereka bisa.

Pasalnya dulu, pernah saya tanya arti suatu tulisan bertatakrama halus,
tak ada seorangpun yang bisa mengartikannya, kecuali Anto.

”Kenapa kita ngak bisa bahasa daerah?” kata Sam.
Diskusi makin hangat.

 

Sambil angkat siku ke meja dan menyangga tangannya, Ani berkomentar,
”Iya, ya, banyak orang menganggap bahasa daerah itu kuno. Cuma dipake oleh orang miskin dan tidak berpendidikan. Parahnya, ada yang berfikir, bahasa bisa menghalangi orang berhasil dalam hidup”

Lalu Sam bercerita ketika dia dibusway ngobrol dengan temannya berbahasa Jawa,
orang disebelahnya tertawa. ”Saya ngak tahu, alasan dia ketawa. Geli? aneh? lucu? mengejek? saya tidak tahu. Tapi saya berfikir, hmm... pantesan aja bahasa daerah kian punah".




”Aneh, emangnya kenapa sampai bisa bahasa menghalangi keberhasilan hidup?”
Yandi angkat bicara.
”Harusnya ngak, tapi ternyata kalau orang berbicara dengan logat tertentu,
atau kerap bicara dengan bahasa daerah tertentu, tingkat ’kekerenannya’ menurun” jawab Ani sambil menambahkan gaya menulis tanda petik dikata ’kekerenannya’.


"Bayangkan! Didunia ini ada 7000 bahasa.
700 nya ada di Indonesia! Dan, 70 bahasa atau sekitar 1% dari seluruh bahasa di dunia, ada di NTT.
Jadi Indonesia ini kaya.



 

 Tapi coba kita tanya, berapa bahasa yang kita ketahui?
umumnya menjawab kurang dari hitungan jari-jari satu tangan.
Dominannya satu atau dua bahasa saja.
 Dan kalau banyak dari kita berfikiran, bahwa bahasa daerah bisa menghalangi keberhasilan hidup kita, bakal banyak bahasa yang punah nih...” celetuk cerdas Ira yang dari tadi kelihatan sibuk dengan sms-nya.

”Iya, ya, benar juga” kata Sam, merenung seolah bicara dengan dirinya sendiri.




”Anggapan negatif pada bahasa daerah berakibat negatif.
Kita mungkin berkonstribusi dengan meniadakan bahasa daerah hingga anak kita hanya bisa berbahasa Indonesia.
Malah kita mendesak-desak anak untuk kursus bahasa Inggris agar mampu bersaing kedepan.
Bisa juga benar, tapi kan kita yang bikin bahasa daerah kita lumpuh,
dan ngak penting. Kalau anak kita ngak pakai bahasa itu, berarti anak dari anak kita juga nggak akan pakai bahasa itu ” kata Ira dengan wajah serius.

Reni menimpali. ”Wah, hebat nih, Ira jadi kritikus keren, gayanya udah kayak Pak Purnomo dosen Kewiraan kita dulu.....” Semuanya tertawa.

 


Anita, yang bersuku Sunda, ikut menambahkan bahasan seru ini,
”Sekedar perenungan, ya…. Kita lagi kumpul di Mekar Sari, Cileungsi,
tapi dari tadi jarang sekali kita dengar orang bicara bahasa Sunda.
Padahal ini wilayah Sunda.
Kalau kita ke Bandungpun, disekolah-sekolah, mall, bioskop, terminal, kompleks-kompleks perumahan, kantor, anak-anak kecilnya, orang dewasa, sudah makin jarang terdengar mereka menggunakan bahasa Sunda. Padahal kemungkinan besar, pastilah mayoritas mereka adalah etnis sunda.
Kalau dikota besarnya saja bahasa Sunda sudah mulai ditinggalkan penggunanya,
tidak lama lagi, orang kenal bahasa Sunda sebagai "bahasa gunung", begitu kata Anita.

 


Togar, yang duduk disudut sambil bersandar di dinding, urun rembug tentang bahasanya.
 ”Iya juga, ya, mungkin sekali bahasa Batak bisa punah.
Ini cuma masalah waktu saja. Ironisnya, yang bikin punah ya orang Batak juga.
Coba bayangkan, orang tua sudah tidak bisa berbahasa Batak lagi.
Orang tua saya misalnya, sudah kurang fasih, paling mengerti kalau orang bicara.
Kalau orang tua saya cuma ngerti, apalagi saya…..?
jadi bahasa punah kalau rumah pemilik bahasa tidak lagi pakai bahasanya, toh?
 Tahu nggak, kalau orang bertanya pada anak saya,
Aha Margam? Ise Goarmu? Nggak ada yang bisa jawab.
Tapi kalau orang tanya “Kamu orang apa?” anak saya bilang dengan mantap
”’Orang Batak” hahaha.” Togarpun tertawa.

Saya baru sadar, tidak ada ’rasa’ dialek Batak diucapan Togar.

Orang akan menyangka dia orang Batak, setelah kenal namanya atau memperhatikan sosok tubuhnya. Untungnya rasa bangga sebagai orang Batak masih kuat pada Togar.
Jadi slogan, ”Proud to be Batak” memang sering didengung-dengungkan Togar.

 


hanya dia tidak bisa bahasa Batak, bahkan mengungkapkan rasa bangga sebagai orang Batakpun, dalam bahasa Inggris.

”Gar, jadi satu-satunya kalimat yang kamu bisa bilang dalam bahasa batak adalah
”saya tidak bisa bahasa Batak” kata Romi sambil tertawa mengejek Togar.

”Saya ingat, dulu, kalau liburan, pernah orang tua saya kirim saya ke Medan,
supaya bisa berbahasa Batak, katanya. Tapi pas di Medan,
 tulang saya bilang keanak-anak lain, “Pake bahasa Indonesia saja, biar Togar ngerti.”
 Jadi kapan saya ngertinya. Sekarang, isteri saya bilang, “Hare gini … anak anak diajari Bahasa Batak?”. Kata Togar berapi-api. Saya maklum, Niken, isteri Togar adalah orang Jawa.




Saya jadi ingat ketika kecil, ayah saya kerap bicara bahasa Arab
dengan teman-teman atau kerabatnya.
Tapi sampai kini, saya dan saudara-saudara menggunakan istilah bahasa Arab
hanya untuk bahan celetukan dan humor segar ketika kumpul dengan keluarga besar.
Tak ada satu kalimatpun yang berhasil dirangkai dengan manis.
 

Sayapun merasa sangat menyesal karena ketika berada di Pakistan lebih dari tiga tahun,
saya tidak bersungguh-sungguh belajar bahasa Urdu.
Waktu itu, saya dan teman-teman umumnya berkeyakinan,
bahwa bahasa Urdu tidak terlalu bermanfaat.

Dalam suatu tulisan seorang kritikus ekonomi politik, Jean Baudrillard, (1981) mengatakan
bahwa monopoli sebenarnya bukan pada alat teknis, melainkan pada ucapan.

Jurgen Habermas (1967) juga mengingatkan bahwa bahasa adalah alat dominasi dan kekuasaan. Bahasa yang tertumpah dalam pemikiran, cenderung diabaikan logikanya
dengan penggembosan bahasa itu sendiri oleh pemiliknya.
Banyak orang merasa lebih keren dan hebat dengan bahasa yang dimiliki orang lain,
daripada bahasanya sendiri.
 


Kematian bahasa juga dapat terjadi karena adanya modifikasi.
Termasuk saya yang kerap mencampur bahasa dalam keseharian.
Dosen bahasa Inggris saya dulu pernah bilang,
”Kalau bahasa Indonesianya tidak bagus, lalu bahasa Inggrisnya juga tidak bagus, maka kemungkinan penggunaannya akan bercampur.

Sebaliknya, orang yang fasih dalam bahasa Indonesia dan fasih ketika berbicara bahasa Inggris,
berarti kemampuan dua bahasa orang tersebut adalah sempurna”



Sesungguhnya, saya dan teman-teman diam-diam mengagumi pilihan sikap Anto.
Kemampuan bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan terutama bahasa Jawa
yang diucapkan Anto dengan luwes dan benar,
sesungguhnya menempatkan sendiri kualitas diri Anto.

Sama sekali diantara kami tidak ada yang merasa Anto ’kampungan’ atau ’udik’ dengan bahasanya.
Bahkan sosok yang mengagumkan.

Seorang muda yang maju, berwawasan luas, sukses, dan merakyat.
Menghargai budaya nenek moyang.
Memahami dan melestarikan identitasnya.

 Kami makin terkagum-kagum dengan ucapan Anto yang begitu rendah hati,
”Tahu ngak, bahasa daerah itu bisa memberi dasar yang kuat untuk kita bisa tumbuh dan menjelajahi dunia”

.... Oh Anto.....Indahnya dirimu...

Hah 400 Ribu....? (True Story)

Oleh: Leila Mona Ganiem

 

 
Domba anak saya, bernama Snow White (SW).
Domba itu hadiah oleh Kel Ali Badjerei, sahabat keluarga.

Karena dianggap binatang piaraan, (pet), dia dipanggil dengan gelar 'Mbak SW".
Selama tujuh bulan SW menikmati fasilitas susu Dancow, susu sapi literan atau susu Ultra.


Hitung-hitung biaya buat SW sekitar 750 ribu perbulan, terutama 6 bulan pertama.



http://bundamahes.files.wordpress.com/2010/06/susu-uht.jpg

Sebidang tanah kecil didekat dapur, berperan kebun, dirubah fungsinya menjadi kamar SW.

Hampir seluruh makanan keluarga juga disantapnya.
Sisa sayur lodeh, ayam, pisang, kulitnya, daging, mie, kerupuk habis dilalap SW.


  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBLZco56oyh6bGBSSpZs5IsBXGMDe-65CIHF5p0AGnBImuBmrAG_TJi_nsAa7r4ge-xeK2_pMYl-EZ6CzEmc-464pcz_zjPKY4b3KPV7BY9ICUoCkQf1lgQKlWSkCxtUzG25PcDQ/s400/8.jpg

Kami bertanggung jawab merubah fitrahnya dari herbivora menjadi omnivora.


Proses menikmati menu juga berbeda dari hewan sejenisnya.
Hampir semua makanan disantap dengan proses 'dipersilahkan'.
Maunya makanan disimpan dipiring atau dimangkuk.
Bila menu sudah jatuh kelantai, SW merasa jijik memungutnya.

Hingga usia setahun, Mbak SW masih minum menggunakan dot.

 
http://anjingdijual.com/upload/img/2012/09/21/21092012103434-4440.jpg


Sekeluarga bergiliran bertugas memegangi botolnya.
Tanpa dot, SW akan mengembik berkepanjangan.

Meski haus SW tetap tak berkenan meminum air dari ember.

Jelas, manusia memiliki keterbatasan mengajarkan aspek sosial individu lain.
Kasihan, dia tak punya figur yang mengajari 'menjadi domba'


SW dimandikan sebulan dua kali, kadang seminggu sekali.

http://dc223.4shared.com/img/EOzoESjgce/143f7ae1e60/ShaunTheSheepS01E02_Bathtime.avi


SW juga menerima kemewahan berkeliling kampung.
Ditemani jalan-jalan oleh anak-anak saya, bak binatang piaraan.

Kadang tanpa sepengetahuan saya, Mbak SW dibawa masuk kekamar tidur.

http://gamescatalyst.com/wp-content/uploads/2012/04/Shaun-the-Sheep.jpg
 http://gamescatalyst.com/wp-content/uploads/2012/04/Shaun-the-Sheep.jpg

Mencari jodoh buat Mbak SW juga tidak mudah.
Dia pilih-pilih.

 http://images.shaunthesheep.com/user_uploads/creations/creation_700_10832.jpg


Dulu sempat ada pasangan SW, bernilai 1,1 juta (beratnya lebih kecil dari Mbak SW).
Harga yang murah itu, karena persahabatan dengan siempunya hewan.

Perkawinan berlangsung dalam satu bulan saja lantaran pasangan
segera dihabisi untuk persembahan suci bulan Dzulhijah.


 
 http://blog.rajasulap.com/wp-content/uploads/2012/10/shaun_the_sheep_idul_adha1.jpg





Berat Mbak SW kira-kira lebih dari 35 kg.
Mungkin 37-38 kilo. Umurnya kini 1,5 tahun.


 
 http://pixabay.com/static/uploads/photo/2012/11/05/04/14/alpaca-64137_640.jpg

 
Dua minggu lalu SW dihadiahkan pada Mas To, staf di rumah kami.
Dia memiliki kapasitas untuk mengurus domba cantik itu.
Pertimbangannya adalah karena selama SW sudah berkenan merumput,
Mas To inilah yang menyelesaikan masalah sayur-mayur itu.



Proses bujuk rayu cukup panjang untuk membuat Mbak SW dizinkan oleh anak saya
untuk berpindah kepemilikan.

Ada negosiasi yang berkonsekuensi cukup berharga pada saya sebagai ibunya.
Salah satu alasan yang saya sampaikan adalah  karena kami tidak akan tega menggulainya.
Sementara pengurusan SW sudah kian sulit.


http://inastya.files.wordpress.com/2007/11/sambal-goreng-iga-kambing.jpg


Kami juga berfikir... hitung-hitung keberadaan Mbak SW buat Mas To sebagai tambahan peluang bisnis baginya jika domba cantik itu beranak cucu.

Kemarin  Mas To  melapor, Mbak SW sudah dijual.
Harganya 400 ribu!

Aku menjerit, "Hah... 400 ribuuu?
Terkejut, marah, terharu.
"Mengapa pembeli tega menekan harga tanpa berperikebinatangaan pada Pet mahal itu!" renung saya.

Anak-anak belum dikabari.
Mungkin mereka akan menangis, tapi dengan alasan berbeda dengan ibunya.

Bagi Pahlawan Kesehatan