oleh: Leila Mona Ganiem
Understand the differences;
act on the commonalities.
(Andrew Masondo, African National Congress)
Dalam suatu siaran radio, ada Ibu Nana, seorang narasumber.
Ibu Nana ini menceritakan pengalaman pedih kehilangan anaknya.
Kisahnya menjelaskan sendiri keteguhan hati yang luar biasa
dari seorang ibu dalam situasi yang sangat sulit itu.
Keteguhan narasumber tersebut sangat menginspirasi banyak orang.
Telepon terus berdering.
Sms dan pesan melalui face book berdatangan mengomentari.
Atau memberi ungkapan salut atas keteguhan Ibu Nana.
Tiba-tiba ada telepon seorang mengomentari logat Ibu Nana ketika mengucapkan huruf ‘F’. “
Ibu Nana, ngomong ‘faktanya’ seharusnya pake F, bukan P, ‘paktanya’”
Dengan tenang Ardiyanti, penyiar radio tersebut, mengatakan,
“Mas Tono, maaf ya, saat ini kita sedang berbicara mengenai pelajaran hidup
yang sangat bermakna dari seorang ibu yang kehilangan anak.
Kita tidak tengah menganalisa logat seseorang.
Rasanya lebih penting bagi kita untuk berempati dengan kedukaan Ibu Nana,
dan belajar dari keteguhan perempuan hebat ini,
daripada memperbaiki logat beliau”
Alhasil selanjutnya pembahasan lebih mengarah pada cerita Ibu Nana.
Izinkan saya, melalui tulisan ini untuk memfokuskan pada pelafalan
huruf F, P, V yang sering bertukar pada orang Sunda.
Mengapa hal ini menarik?
karena hal ini kerap dianggap mengganggu, bahkan dari contoh cerita diatas,
ketika pembahasan suatu hal yang memang jelas-jelas berfokus pada sesuatu yang serius,
masih saja ada orang yang memperhatikan pelafalan huruf yang kerap bertukar ini.
Sebuah riset mengatakan bahwa logat seseorang yang berbeda dengan logat standar,
berpengaruh pada persepsi kredibilitas orang tersebut.
Artinya orang tersebut cenderung dianggap kurang kredibel.
Ada juga orang yang kerap menjadikan logat atau pelafalan suatu suku sebagai bahan tertawaan.
Memang, orang Sunda kerap tertukar antara huruf P, F dan V.
Orang China tampaknya kesulitan dengan lafal R.
Orang India dan Pakistan sering menukar huruf t, menjadi th.
Misalnya dalam kalimat ‘ I would like to eat banana’ pada kata to dibaca thu bukan tu.
Kira-kira agak mirip dengan logat Bali.
Semua itu merefleksikan warna-warni yang tercipta karena keunikan manusia.
Mengapa orang Sunda sulit mengucapkan huruf F?
Mungkin karena memang huruf “F” bukan huruf dan lafal asli daerah Sunda.
Huruf itu diperkenalkan oleh pedagang bangsa Arab, Persia dan Gujarat
yang sekaligus juga menyebarkan agama Islam di Jawa pada abad ke-13.
Hal yang menarik adalah suku Jawa, tetangga terdekat suku sunda, tidak memiliki kesulitan yang sama dalam melafalkan huruf “F”, kecuali beberapa masyarakat generasi sepuh di pedalaman Jawa.
Padahal, Jawa dan Sunda memiliki sejarah yang hampir sama dalam hal
interaksi dengan bangsa asing.
Dari beberapa tulisan yang saya gali,
ada yang memberikan kajian cukup logis, yaitu adanya perbedaan
proses internalisasi dari huruf F pada orang Jawa dan Sunda.
Umumnya huruf “F” tersebar ke masyarakat Jawa dan Sunda melalui bidang dakwah.
Huruf “F” lebih mudah diserap oleh masyarakat Jawa
karena beberapa anggota Wali Sanga di Jawa banyak menggunakan media seni dan budaya
sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat pada waktu itu.
Penyebaran tidak hanya dimesjid-mesjid,
melainkan juga melalui tembang-tembang yang dinyanyikan, melalui pertunjukan-pertunjukan
seni yang mereka nikmati.
Meski di tatar Sunda, dakwah juga menggunakan media seni dan budaya,
seperti wayang golek, dangding, guguritan, tradisi upacara (sawer orok, tingkeban, dll).
Akan tetapi penggunaan media ini tidak seintens seperti di tanah Jawa.
Selain itu penggunaan media ini baru berkembang pasca Sunan Gunung Jati.
Sementara itu, naskah-naskah kuno Cirebon menjelaskan
bahwa Sunan Gunung Jati memiliki kekuatan dalam bidang pengobatan.
Hal ini semua mendukung adanya keterbatasan akulturasi penggunaan huruf ”F”
yang cenderung diterima oleh orang Sunda dalam bahasa Arab,
namun kurang tersosialisasi dalam ucapan sehari-hari.
Dengan demikian maklumlah
jika ada banyak pertukaran kata F, P, dan V, yang kita kerap dengar dari ucapan orang Sunda.
Misalnya pada kata
Fax menjadi Pak; Vibreglass atau Pibreglass; Over quality menjadi Oper kualiti;
Formalitas menjadi Pormalitas; Servis menjadi Serpis;
Effendi menjadi Ependi; Geografis menjadi Geograpis; Fakta menjadi Pakta;
Vespa menjadi Pespa; Planet menjadi Flanet; Vagina menjadi Pagina; dll.
Mengingat ini adalah budaya, wajar saja bila kebiasaan ini adalah tindakan berulang.
Bahkan kadang kalangan berpendidikan tinggipun, masih kerap mengucapkan
atau menulis kekeliruan antara “F, P dan V”,
Jika mengacu bahwa yang dimaksud dengan ‘benar’ adalah versi Bahasa Indonesia.
Yang perlu jadi renungan,
siapkah kita, yang hidup dinegara multisuku ini memiliki pluralisme ujaran?
Bukankah secara etika komunikasi kita tidak diperkenankan
memandang rendah orang lain karena ia berbicara dengan aksen yang berbeda dari aksen kita.
Jadi ketika ditanya, “kenapa orang Sunda ngak bisa bicara huruf ‘F’?
dengan gaya khas orang Sunda yang suka lempar-melempar ungkapan lucu, Yadi Mulyadi
menyeletuk membela diri ”Siapa bilang orang Sunda tidak bisa bilang “F”, itu Pitnah!,”
Dari buku: Beda Itu Berkah
No comments:
Post a Comment