Friday, January 05, 2018

2018 Tahun PSR



Republika, 30 Desember 2017






2018 Tahun PSR

Leila Mona Ganiem
Akademisi dan Komisioner KKI



Jika selama ini masyarakat mengenal Corporate Social Responsibility (CSR),  kini  setiap orang perlu mengenal PSR dan menjadikannya sebagai gaya hidup.

Apa itu PSR?  Personal Social Responsibility, atau Tanggung Jawab Individu pada masyarakat atau lingkungan merupakan ide personal dari CSR.

PSR bukan hal baru. Rasulullah mengingatkan, "sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain". Tidak hanya Islam, semua agama pasti mengajarkan berbuat baik pada orang lain.

PSR adalah bentuk altruisme yaitu tindakan sukarela untuk membantu orang lain tanpa pamrih kecuali kenyamanan hati karena telah memberikan suatu kebaikan. PSR adalah bentuk kesediaan untuk meletakkan kepentingan orang lain diatas kepentingannya sendiri. August Comte, filsuf Perancis abad ke 18,  percaya bahwa individu memiliki kewajiban moral untuk berkhikmat bagi kepentingan orang lain atau kebaikan manusia yang lebih besar.

PSR dapat diekspresikan dalam beragam macam baik menggunakan uang, pikiran, tenaga, waktu atau perasaan.

Ibu Een, pejuang pendidikan asal Sumedang, semasa hidup dalam keadaan lumpuh dan terbaring lantaran penyakit Rheumatoid arthritis (RA), tetap memberi manfaat dengan mengajar pada anak-anak di lingkungannya.  ini adalah bentuk PSR.

Pak Sariban, 74 tahun, menyapu sampah menggunakan sepeda bahkan bersuara lantang di depan pengunjung di berbagai kerumunan di Bandung, membawa pesan menjaga  kebersihan. Dia dengan sabar menarik paku yang melukai pohon hingga terkumpul lebih dari 15 karung.

Wiwin, kelas 9,  sudah 5 bulan ini  memilih merawat 10 pot tanaman di sekolah, menyirami dan memastikan tanaman tersebut subur.  Siswa lain, Tri, mengingatkan teman sekolahnya untuk menyempatkan shalat dhuha ketika istirahat sekolah.

Dr. Rita menggunakan waktu satu jam untuk memberi panduan mengenai cara hidup sehat di beberapa arisan di Surabaya, setiap bulannya.

Mengantarkan tetangga ke dokter-membantu pengurusan administrasi RS- menghibur orang sakit, membiayai pendidikan seseorang,  membantu  warga senior  menyeberang jalan dengan aman,  menjadi komite sekolah yang kontributif,  memindahkan kulit pisang di jalanan ke tempat sampah, membuat flyer tips bijak ber-media sosial,  mengisi  batu pasir pada jalanan berlubang di sekitar rumah,  adalah bentuk kreatif lain dari PSR.

Bayangkan, Indonesia akan menjadi negara besar dan kuat ketika PSR memandu keseharian warganya. Semua saling memikirkan orang lain,  sebesar apapun kontribusinya, selalu menyelipkan kemaslahatan orang lain dalam  tindaknya tanduknya. Tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri! 

Sesungguhnya PSR adalah jiwa bangsa Indonesia.  Bung Karno dengan lantang menyebut Ekasila sebagai prinsip substantive kehidupan kebangsaan  adalah ‘Gotong Royong’.   
Melalui PSR, kesadaran bergotong royong ditumbuhsuburkan.  Masing-masing mengkonstribusikan sebagian dari dirinya untuk membuat perbaikan dan kesejahteraan bersama.

Pelajaran dari nenek moyang kita juga gotong royong dalam keseharian mereka. Itulah yang menjadi fondasi kuat masyarakat kita yang kolektifis. Menjaga hubungan baik, mengikatkan diri dalam persaudaraan, kasih sayang dan tolong menolong untuk kebaikan. Solidaritas dan kebersamaan meningkat, persatuan dan kesatuan kian kukuh, saling meringankan, menghasilkan produktifitas kerja yang baik serta meningkatkan ketakwaan pada Tuhan YME.

Dalam buku PSR yang kami tulis (Ganiem, Ambadar, Soekardjo, 2015), kami meyakini bahwa PSR dapat terlaksana ketika ada ketulusan, sukarela dilakukan berdasarkan kepedulian untuk membawa manfaat bagi orang lain atau masyarakat. PSR juga dapat dilakukan oleh siapa saja, orang sakit sehat, tua muda, profesi apa saja. Ketika orang lain berbuat kebaikan, hukum alamnya  adalah perbuatan baik itu menular. Pak Sariban yang menyuarakan kebersihan, menginspirasi para relawan kebersihan untuk berbuat yang sama.

Kontribusi dari PSR semakin berlimpah ketika melalui PSR,  setidaknya ada enam karakter yang terbentuk dengan menjalankan PSR. Tanggung jawab, Toleransi, bersahabat/komunikatif, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab dan relijius.

Sesuai kebijakan nasional,  pembangunan karakter bangsa adalah tugas bersama, maka seluruh ranah dapat bersinergi.

Misalnya, sebagai pendidikan pertama dan utama dalam kehidupan manusia, keluarga sangat layak mendukung PSR dengan cara setiap anggota keluarga memiliki agenda PSR yang ditujukan bukan untuk keluarga inti, tapi untuk masyarakat yang lebih luas. Pembiasaan PSR di keluarga penting karena  sebagai penghayat nilai,  pembentukan kesadaran ‘aku’ manusia yang membawa manfaat,   harus dibangun, ditumbuhkembangkan pertama kali melalui pengasuhan, contoh dan pengalaman belajar di rumah.

Lembaga pendidikan dari TK, bahkan Paud hingga perguruan tinggi, dapat menyentuh syaraf peserta didik dengan PSR yang dalam konteks pendidikan dikenal sebagai pengabdian masyarakat.

Dunia usaha dan industri, dapat mengkombinasikan PSR dengan CSR. Menyentuh syaraf yang tepat dari  para karyawan untuk berbagai kebaikan pada sesame diantara waktu yang dimiliki dalam berbagai keahliannya. Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh PNS di lingkup pemerintah dan masyarakat politik.

Lembaga sosial kemasyarakatan yang telah membaktikan diri untuk masyarakat, diharapkan dapat menularkan terus virus PSR bagi masyarakat agar dampak duplikasi dari PSR dapat dirasakan lebih cepat dan luas.  

Terakhir, para insan media dapat menjalankan PSR dengan sangat berkualitas ketika menyadari bahwa pesan yang mereka produksi dapat memengaruhi masyarakat. Kita tahu, yang mengontrol media memiliki peluang mengontrol pikiran.  Karenanya, duplikasi kebaikan dapat disebarkan secara optimal melalui media massa.

Sebagai penutup, 2018 adalah tahun yang tepat untuk kita semua, warga negara Indonesia, menjadikan PSR sebagai gaya hidup karena PSR ‘memanusiakan’  kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena berbagai terpaan kehidupan. PSR juga dapat berperan signifikan untuk mewujudkan cita-cita luhur pendahulu kita, yaitu Indonesia negara sejahtera adil dan makmur.





Tuesday, December 12, 2017

Profesi Kedokteran Untuk Masyarakat

Profesi Kedokteran Untuk Masyarakat

Leila Mona Ganiem
Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia

Republika, 30 November 2017



Minat memasuki fakultas kedokteran (FK) dan kedokteran gigi (FKG) masih tinggi. Dokter kerap dipandang sebagai profesi mulia, memiliki status sosial tinggi, dengan pendapatan sangat baik.

Disisi lain, masyarakat butuh dokter yang kompeten, professional, update iptek,  berbudi luhur, beretika, berorientasi pada keselamatan pasien, dan berjiwa sosial. Karena, Medical practice is Not ‘a right’ but ‘a privilege’

Praktik kedokteran bukanlah hak bagi semua lulusan fakultas kedokteran dan kedokteran gigi,  namun merupakan ‘hak istimewa’.  Artinya,  meskipun seseorang telah lulus  dari pendidikan kedokteran/kedokteran gigi, namun jika  tidak  dapat menunjukkan kinerja sebagai seorang  dokter/dokter gigi profesional sesuai standar,  maka dirinya tidak bisa melakukan praktik kedokteran.

Untuk  mendukung  dokter dan dokter gigi yang pintar dan baik (Prof. Moeloek menyebutnya, high tech and high touch), maka pelibatan masyarakat untuk bersama menjaga profesi ini, perlu dilakukan.

Pendidikan dan Praktik Kedokteran: Pengupayaan Serius

Pemuda-pemudi yang diterima di FK dan FKG favorit hanyalah mereka yang memiliki kategori sangat cerdas. Peraturan baru, Permenristekdikti No. 43 Tahun 2017 menyebut, selain lulus seleksi, calon  mahasiswa juga harus lulus tes kesehatan, tes bakat,  dan tes kepribadian.

Waktu kuliah profesi kedokteran cenderung panjang yaitu sarjana hingga kepaniteraan klinik/koas diselesaikan dalam waktu sekitar 5 (lima) tahun untuk dokter, setelah itu internship 1 (satu) tahun. Bagi dokter gigi, pendidikan sekitar 6 (enam) tahun.

Sesuai amanah UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, seusai koas,  mahasiswa mengikuti Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) atau UKMPPDG untuk kedokteran gigi.  Ujian ini penting karena digunakan untuk mengukur pengetahuan, keterampilan dan sikap dari calon dokter dan dokter gigi dari FK dan FKG manapun di Indonesia.

Setelah lulus uji kompetensi, Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004,   menetapkan  para lulusan dapat memperoleh STR atau Surat Tanda Registrasi.  STR adalah surat jaminan dari Negara melalui Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), bahwa mutu dan kompetensi dari dokter/dokter gigi tersebut dapat diandalkan.  Dengan demikian,  masyarakat terjamin pelayanan kesehatannya karena hanya yang dianggap kompetenlah yang bisa memperoleh STR sehingga selanjutnya dapat menyentuh tubuh pasien dalam konteks praktik kedokteran.  

Proses menjaga agar dokter kompeten masih berlanjut.  Agar hasil pendidikan  selaras dengan praktik di lapangan dan dokter lebih mahir dan mandiri, maka dokter wajib mengikuti program internship  di seluruh Indonesia selama 1 (satu) tahun. 

Setiap lima tahun sekali, jika masih berminat untuk praktik kedokteran,  dokter/dokter gigi wajib memperpanjang STRnya.  Salah satu syaratnya adalah menunjukkan bukti bahwa yang bersangkutan tetap belajar dan meningkatkan kompetensinya (Pendidikan Profesional Berkelanjutan) sesuai mekanisme kredit poin yang diatur. Tanpa proses tersebut, dokter tidak akan memperoleh STR. Jika berpraktik tanpa  STR, maka dianggap illegal dan dapat dipidana.

Dokter/dokter gigi juga profesi penolong yang  paling beresiko. Ketika yang ditolong merasakan ada kesalahan prosedur disiplin, yang ditolong dapat melapor ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (lembaga di dalam Konsil Kedokteran Indonesia). Mekanisme ini untuk melindungi masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan dan memberi kepastian hukum bagi masyarakat dan dokter/dokter gigi.  Jika ditemukan pelanggaran, maka STR dapat dicabut untuk sementara, bahkan dokter/dokter gigi harus belajar lagi.  

Melalui semua upaya ini, diharapkan dokter/dokter gigi senantiasa kompeten, terjaga kualitasnya, dan masyarakat mendapat manfaat terbaik serta percaya pada dokter/dokter gigi Indonesia. 

Tantangan Semua Pihak                                

Bagi pemuda-pemudi Indonesia, jika memilih profesi ini,  perlu komitmen tinggi. Hanya peminat serius, mampu, disiplin, tangguh, beretika, berjiwa melayani  saja yang sebaiknya menjadi dokter/dokter gigi.  Memaksakan diri atau ananda untuk masuk FK/FKG dengan biaya berapapun, bukanlah pilihan bijak. 

Sebuah contoh,  kelulusan uji kompetensi nasional hanya sekitar 70%.  Mahasiswa  dari FK/FKG berakreditasi baik, cenderung lulus di uji kompetensi. Sementara,  mahasiswa dari FK/FKG dengan akreditasi C, banyak yang tidak lulus uji kompetensi dalam sekali waktu. Mereka harus mengulang (retaker) bahkan berkali-kali.  Perjalanan panjang pendidikan mereka,  juga tidak memberi kepastian mencapai cita-cita.  Maka wajib bagi masyarakat untuk jeli dan berhati-hati memilih FK/FKG.

Saat ini, tugas FK/FKG lah yang mengantarkan mahasiswa hingga lulus uji kompetensi.  Untuk itu, FK/FKG harus memenuhi standar pendidikan profesi yang berlaku;  kurikulum yang tepat;  dosen yang kompeten dan jumlahnya cukup; sarana pendidikan yang mumpuni; rumah sakit pendidikan; dan sumber pembiayaan yang transparan. Aturan Permenristekdikti No.  43 tahun 2017 tentang kuota dan seleksi penerimaan mahasiswa baru semestinya dipatuhi.

Bagi pengelola pendidikan yang berminat membuka FK/FKG baru, perlu menyadari kemampuannya dan bersungguh-sungguh menjalani sesuai prosedur, tidak berpolitik, serta tulus berupaya mencapai hasil terbaik untuk memproduksi dokter dokter gigi yang bermanfaat bagi keselamatan masyarakat.

Sebagai  penutup,  profesi kedokteran, lahir dari kebutuhan masyarakat untuk hidup sehat dan menjalani kehidupan berkualitas. Ini adalah tanggung jawab bersama. Hanya anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan panggilan hati yang tulus sajalah yang sebaiknya mengemban amanah profesi ini. Penempaan melalui pendidikan kedokteran, perlu ditingkatkan terus kualitasnya.   

Para pemangku kebijakan juga semestinya tetap kukuh memastikan dan membina  agar pengelolaan pendidikan FK/FKG dapat menghasilkan lulusan terbaik.





Tuesday, July 11, 2017

Image result for mencintai Indonesia                      






Mari Mencintai INDONESIA 
dengan  BERKARYA

Sunday, August 14, 2016

Dilema Fakultas Kedokteran Baru

 Image result for republika harian

Dilema Fakultas Kedokteran Baru
Harian Republika
Kamis, 12 Mei 2016, 14:00 WIB
Selama satu dekade, antara 2006 sampai 2016, terbukti ada 356 kasus kelalaian mediks--biasa disebut malapraktik--menurut Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Kelalaian tersebut membuat kerugian psikis dan fisik bagi korbannya.

Ini, belum lagi kasus yang tak dilaporkan atau tak diselesaikan tuntas. Wajar jika dari hulu sampai hilir, dari pendidikan kedokteran sampai rumah sakit, profesi kedokteran termasuk salah satu profesi yang punya regulasi paling tegas di dunia.

Pendidikan kedokteran seyogianya harus berkualitas. Fakultas kedokteran (FK) di Indonesia harus punya visi dan misi yang mampu menerjemahkan keperluan lokal, nasional, dan global; dosen bermutu, kurikulum, dana, sarana, dan prasarana.

Realitasnya, dari 75 FK negeri maupun swasta yang saat ini ada, baru 23 persen menyandang akreditasi A. Selebihnya, akreditasi B (37 persen) dan akreditasi C (40 persen).

Belum lagi selesai pembinaan untuk meningkatkan akreditasi FK--yaitu dari akreditasi C ke B dan dari B ke A--pada akhir Maret 2016, Kemenristekdikti memberi izin dibukanya delapan FK baru. Jika demikian, bagaimana memastikan penjaminan mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat?

Ketika tidak masuk seleksi FK favorit, karena ingin menjadi dokter tak jarang masyarakat memilih FK mana saja asal diterima. FK yang kurang berkualitas sangat mungkin tidak ketat dalam proses seleksi mahasiswa.
  
Jumlah mahasiswa berdampak pada kualitas lulusan. Jika mahasiswa FK berlebih, mereka akan kekurangan pasien sebagai kasus untuk berlatih di rumah sakit pendidikan. Akibatnya, mereka kurang terampil. Sebelum 1990-an, mahasiswa kedokteran bisa terlibat dalam sepuluh kasus melahirkan. Sekarang, tidak jarang satu pengalaman pun sulit.

Untungnya, sejak 2007, untuk menjadi dokter seseorang tidak sekadar lulus FK. Ia juga harus memiliki kemampuan standar melalui uji kompetensi. Hanya mereka yang memiliki ijazah dari FK dan FK gigi serta lulus uji kompetensilah yang diberi hak melayani masyarakat.

Jaminan bahwa dokter dan dokter gigi kompeten diwujudkan dengan diberikannya Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia--lembaga negara yang diamanahkan melindungi masyarakat dan mengawal mutu profesi dokter dan dokter gigi melalui pengaturan dokter dan dokter gigi.

Masalahnya, kesenjangan kelulusan uji kompetensi bervariasi antara 20 persen hingga 97 persen. Peserta dari FK yang berakreditasi A memiliki tingkat kelulusan lebih dari 90 persen. Sebaliknya, banyak peserta dari FK berakreditasi C tidak lulus.

Karenanya, untuk menjaga mutu pendidikan kedokteran, FK diberi jatah menerima peserta didik dalam jumlah tertentu, bergantung akreditasi dan jumlah kelulusan uji kompetensi mereka.

Mahasiswa yang tidak lulus uji kompetensi perlu belajar lagi dan diuji lagi hingga lulus. Mahasiswa dari FK berakreditasi C tidak jarang mengikuti ujian berkali-kali, bahkan belasan kali. Pada 2015 uji kompetensi dibatasi hanya tiga kali. Jika belum lulus juga, mereka harus mengubur hasrat menjadi dokter atau dokter gigi dan memilih profesi lain.

Bagaimana menyikapi kondisi ini. Layanan kesehatan merupakan hak asasi manusia menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Layanan kesehatan seyogianya berpijak pada prinsip kemaslahatan terbaik bagi masyarakat, bukan didasarkan pada pertimbangan politik atau keperluan ekonomi.

Belajar dari pengalaman kerapnya mahasiswa gagal lulus uji kompetensi, Konsil Kedokteran Indonesia bersama stakeholder-nya menyepakati dua cara. Pertama, perbaikan mutu di institusi pendidikan kedokteran, sehingga dapat menghasilkan dokter yang kompeten dan profesional. Kedua, moratorium terhadap pembukaan FK.

Karenanya, sangatlah strategis jika pemerintah meninjau kembali pembukaan FK baru, terutama yang belum memiliki standar yang meyakinkan dalam menjalankan pendidikan kedokteran. Selanjutnya, pemerintah berfokus untuk membina FK lama agar lebih baik.

Bagi calon mahasiswa dan orang tua, ada baiknya berhati-hati memilih FK. Hal ini karena tidaklah menyenangkan jika impian menjadi dokter berakhir dengan beban berkepanjangan.

Sepakat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan kedokteran, kita semua mengidamkan dokter dan dokter gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan berjiwa sosial tinggi.

Semua itu perlu upaya bersama untuk mewujudkannya.

Leila Mona Ganiem
Komisioner Konsil Kedokteran Indonesia, Perwakilan Masyarakat

Friday, August 12, 2016

Kedaulatan Komunikasi Indonesia



KEDAULATAN KOMUNIKASI  INDONESIA



Leila Mona Ganiem
Ketua Panitia Konferensi Nasional Komunikasi ISKI 2015
Solo,  10-12 Oktober 2015



 

Bagi Pahlawan Kesehatan