Leila Mona Ganiem
Media Indonesia, 19 Oktober 2010
A leader takes people where they want to go. A great leader takes people where they don't necessarily want to go, but ought to be” tutur Rosalynn Carter.
Pemimpin akan memimpin kemana orang-orang mau pergi, (bisa jadi orang-orang ingin kearah yang benar atau tidak benar). Sementara seorang pemimpin hebat, akan berusaha membawa kearah yang benar, meskipun orang-orang disekitarnya tidak sepenuhnya menginginkan hal itu.
Siapapun punggawa Polri dan KPK mendatang, kita menaruh harapan besar keduanya mampu membawa negeri ini kearah yang benar dalam penciptaan keamanan, kedamaian negeri dan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, meskipun ada pihak-pihak yang tidak menginginkannya.
Realitasnya kini, dua institusi tersebut jauh dari citra bersih berwibawa. Maraknya korupsi dan suap dijajaran kepolisian, ditambah kasus Anggodo, rekening gendut, Susno Duadji, penanganan terorisme, belum lagi ‘ritual’ pungli di jalanan, jual beli perkara dalam penyelidikan dan penyidikan, menumpukkan daftar kekecewaan publik. Transparency Internasional Indonesia (TII), Desember 2007, menyebut Polri adalah lembaga paling korup di Indonesia. Meski data itu tiga tahun lalu, persepsi tersebut belum berubah. Padahal Polri terbukti mengungkap berbagai kasus kriminalitas hingga terorisme, namun persepsi dan apresiasi masyarakat masih rendah.
Tak beda dengan lembaga superbodi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), entah skenario pelemaham atau bukan, kasus Antasari Azhar, Bibit-Hamzah membuat publik tidak lagi ‘bergairah’ menanti realisasi janji KPK.
Inginnya, Polri dan KPK menjadi institusi profesional, menghormati, dan mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Inginnya lagi, mereka ada digaris depan dalam membuat rakyat merasa hidup di Indonesia dengan aman, nyaman, dan adil.
Siapa paling bertanggung jawab? Pucuk Pimpinan! Kualitasnya terefleksi pada standar yang dia tetapkan untuk dirinya sendiri
Dalam waktu dekat, dua Punggawa besar itu akan lahir. Alaminya, dari ‘tidak menjadi’ menuju ‘menjadi’, biasanya ada suasana hati ambigu, belum ajeg, transisi. Victor Turner (1987) menyebutnya liminalitas. Ini juga terjadi ketika seseorang memasuki peran baru, tempat baru, memasuki usia peralihan, hingga status sosial baru. Peralihan antara pelepasan ‘kelampauan’ menuju ‘kebaruan’, membuat atribut yang lampau belum sepenuhnya dilepaskan, disisi lain, peran baru belum sepenuhnya dioptimalkan. Cara mengatasi kegamangan itu, menurut Turner, di banyak budaya dilakukan dengan upacara (ritual). Arnold Van Gennep lebih rinci dalam penjelasan proses yang dilakukan dalam upacara tersebut, yaitu tahapan pemisahan, perpindahan, dan inkorporasi.
Dalam upacara itu, orang tersebut dikondisikan untuk melepaskan semua kepemilikannya, menikmati pengalaman merasa berada di titik paling bawah, berperilaku pasif dan rendah hati, siap menerima perlakuan apapun tanpa berkeluh kesah.
Ini adalah refleksi dari transisi; totalitas; penyamarataan; tanpa nama; ketiadaan kepemilikan; ketiadaan status, keseragaman, pengendalian birahi, minimalisasi perbedaan jenis kelamin, ketiadaan kedudukan, pangkat, lapisan; kerendahan hati; tidak mempersoalkan penampilan personal, tidak ada pembedaan kesejahteraan; ketidakegoisan; kepatuhan total; kesakralan; diam; penundaan hak dan kewajiban kekerabatan; kesederhanaan; penerimaan rasa sakit dan penderitaan.
Fungsi dari adanya ritual ketika terjadi liminalitas, mengingatkan bahwa tidak akan ada yang duduk di atas, jika tidak ada yang di bawah. Karena itu seseorang yang di atas, harus mengalami apa yang dialami oleh orang yang di bawah. Posisi tak berdaya itu seolah-olah dibenturkan dengan posisi berkuasa dan digjaya, atau kekuatan lain yang akan segera ditambahkan dalam dirinya dengan peran barunya. Proses dialektika ini diharapkan menjadi proses penyadaran dari individu agar mampu menahan diri ketika menghadapi godaan kekuasaan. Mengabaikan pengisian yang tepat pada proses liminalitas, menimbulkan ketidaksensitifan dan ketidakleburan diri dalam proses ‘kebaruan’.
Melalui tulisan ini saya bermaksud berbagi pada Kapolri dan Ketua KPK yang baru, ketika Anda menikmati transisi sosial ‘tidak ke sana - tidak ke sini’ (liminalitas), ada baiknya lakukan kontemplasi mendalam melalui ruang batin, merenungi mengapa peran penting ini dititipkan untuk Anda, merasakan bagaimana menjadi pihak yang tidak memiliki semua atribut, merasakan perasaan-perasaan dan harapan rakyat yang begitu besar pada posisi itu, menyadari sepenuhnya konsekuensi peran dengan tanggung jawab yang mengiringinya. Lalu keluar dari pertapaan diri dengan memohon kekuatan Tuhan untuk melindungi dan memberkahi. Kemudian, siap menerima tampuk kekuasaan secara utuh, lahir-batin, dan siap berperan optimal. Dalam komunikasi, proses intrapersonal yang mumpuni ini, memberi pijakan penting keberhasilan berkomunikasi dengan orang lain atau publik.
Meski realitas sejauh ini menunjukkan ‘Dari sejarah kita belajar, bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah’, namun kita semua berharap, jangan mengulang kekhilafan beruntun. Selamat berkarya Kapolri dan Ketua KPK!
Leila Mona Ganiem, Pengamat Komunikasi dan Kepribadian
No comments:
Post a Comment