Oleh: Leila Mona Ganiem
Bisnis Indonesia, 2010
Globalisasi dan Pemasaran
Realitasnya kita saksikan, pasar global kian terbuka.
Sushi, hamburger, kebab, menjadi bagian gaya hidup orang kota. Michael Jackson, Angelina Jolie dan Valentino Rossi, adalah pujaan bersama. Kesadaran merek global memberi ruang ekspansi atas pasar lokal yang telah jenuh. Pemilik uang diberbagai belahan dunia, mengendarai kendaraan bermerek sama, jam tangan sama, dan jaringan hotel yang sama. Orang muda dan orang kaya memiliki gaya hidup yang mirip diberbagai negara (Pr. Smith, 1997:272). Kita juga rasakan banyak kendala politik terurai akibat pendekatan ekonomi.
Lalu, apakah standarisasi strategi komunikasi pemasaran dapat dilakukan? Alasannya, kelompok sosio-demografik yang dituju sama. Syaraf dari pasar yang disentuh juga kira-kira sama.
Jawaban segar datang dari Levitt, Theodore (1983). Dia menyimpulkan bahwa komunikasi pemasaran dapat distandarisasi lintas budaya. Secara praktis perusahaan mendapat manfaat langsung adanya pengurangan biaya produksi iklan dan biaya implementasi strategi baru.
Namun, tidak sedikit ahli menolak asumsi Levitt. Menurut mereka, meski suatu produk/ jasa dapat diterima, ada keunikan halus yang kadang tidak mudah dipahami. Misalnya, orang China mengasosiasikan warna merah sebagai keberuntungan. Warna hijau adalah warna special bagi orang Islam. Beberapa hotel di Amerika atau Inggris tidak memiliki ruang atau lantai bernomor 13. Tidak semua orang memahami perbedaan tersebut.
Robert Guang Tian, Ph. D, ahli komunikasi pemasaran, mengingatkan "Sangat penting bagi para pemasar tahu bahwa tidak ada ruang untuk etnosentrisme dalam praktik pemasaran abad 21."
Upaya agresif yang ditebarkan korporasi belum tentu direspon seperti harapan. Faktor budaya ditengarai berpengaruh paling luas dan dalam, pada perilaku konsumen. Mengapa budaya penting? Menurut Hofstede (2003), karena budaya adalah ”Software of the mind”. Budaya merupakan kumpulan nilai, persepsi, dan perilaku yang dipelajari oleh anggota masyarakat. Budaya sangat alami, tidak disadari dan sering diterima begitu saja. Praktisi juga perlu menyadari potensi dirinya terbelenggu oleh kepastian budaya yang dianutnya, sehingga dalam membuat keputusan, tidak sensitif lagi terhadap perbedaan.
Masih ingat bagaimana produk donat dihadirkan di Indonesia? Semula, ukurannya sebesar. Bagi orang Amerika donat adalah menu sarapan, bagi kita, donat adalah snack, tambahan nasi. Kini banyak kita temukan donat mini. Kesalahan Ford ketika memperkenalkan merek ‘Pinto’ di Brazil tercermin pada buruknya angka penjualan. Ford akhirnya menyadari bahwa orang Brazil tidak ingin menaiki mobil yang namanya berarti “alat kelamin yang kecil pada pria”.
Untuk iklan, standarisasinya sulit dilakukan (Stephan Hall, 2004). Riset Hall menyimpulkan, konsumen dari negara kolektifis cenderung lebih suka meniru dan kurang inovatif dalam pembelian dibandingkan dengan budaya individualistik. Pernyataan ”be your self” dan “stand out”, bisa jadi lebih efektif dinegara individualis daripada kolektifis.
Kekuatan hukum tidak selalu menang ketika berhadapan dengan budaya. Hal itu dapat kita saksikan pada kasus Koja antara PT. Pelindo dengan ahli waris Mbah Priuk. Kasus Drydock pada April 2010 juga memberi pelajaran pada kita mengenai pentingnya memahami budaya dalam mengembangkan hubungan internal dalam korporasi. Adanya kasta di India diprediksi berkonstribusi pada pola komunikasi diantara mereka.
Negara dengan penghindaran ketidakpastiannya tinggi, cenderung bereaksi segera menghentikan atau melarang suatu produk bila ada kesalahan atau kerusakan. Bahkan bila hal itu tidak terjadi dinegaranya. Negara dengan budaya penghindaran ketidakpastian rendah, cenderung baru bereaksi bila keadaan kian buruk.
Ada perbedaan antara surat penawaran produk yang dikirim oleh orang Kanada dan Amerika. Orang Amerika cenderung membangun kredibilitas dengan menyampaikan secara signifikan kelebihan produknya, sementara orang Kanada tidak terlalu mengunggulkan diri. Orang Kanada cenderung curiga bila diiming-imingi hadiah jika merespon direct mail. Menurut mereka, berarti produk/jasanya tidak layak beli. Orang Amerika bereaksi biasa saja (Graves, 1997).
Pada negara Arab, hubungan personal yang dilandasi kepercayaan cenderung lebih berhasil daripada penjelasan sistematis yang formal. Sementara bagi orang Amerika, spesifikasi lebih dipercaya daripada bujukan pribadi.
Konsumen Perancis lebih suka kupon dan twin pack promotion daripada konsumen Inggris. Konsumen Inggris lebih merespon bila ada “x percent extra free”. Orang Hispanik curiga pada ’Garansi Uang Kembali”. Menurut mereka, pasti ada apa-apanya dengan barang tersebut
Kesimpulan
Dunia penuh keragaman budaya. Korporasi sebaiknya mempertimbangkan kondisi budaya lokal meskipun pada merek global. Penyeragaman pendekatan strategi komunikasi pemasaran (iklan, direct marketing, personal selling, PR dan promosi penjualan) tidak sepenuhnya tepat dan menimbulkan kerugian. Meski demikian, standarisasi pada tingkat tertentu dapat dilakukan sebagai dasar keputusan. Penggunaan jasa lokal dapat pula sebagai solusi dalam memahami perilaku konsumen.
No comments:
Post a Comment