INDONESIA VS 'INDON'
Analisa Teori Akomodasi Komunikasi
by Leila Mona Ganiem on Tuesday, 03 May 2011
“Orang-orang awam di Kuala Lumpur, Melaka dan Johor Bahru pada umumnya menyebut kita "Indon".
Di Johor Bahru, ada pelayan toko menyapa saya cik "Indon" dg logat Jawa.
Dengan jengkel dan suara agak membentak saya menjawab,
"Hei, aku Indonesia, bukan Indon! Kamu orang Jawa, kan?"
Demikian kalimat yang ditulis disebuah situs jejaring sosial oleh teman saya, seorang profesor, yang baru pulang dari negeri Jiran.
Menurut teman saya, alasan dia marah karena...
‘Indon’ adalah potongan kata yang ditujukan untuk memanggil orang Indonesia
di kalangan warga Malaysia.
Dalam beberapa penelusuran, saya temukan konon kata itu dilekatkan dengan konotasi pelecehan.
Diartikan mirip ‘Preman’.
Bahkan kadang digunakan sebagai teguran terhadap sikap buruk seseorang.
Misalnya “Mau jadi apa kamu nanti? Mau jadi indon?”
Berbagai reaksi bermunculan atas status tersebut.
Hampir mencapai 100 tanggapan.
Umumnya mengecam pelayan toko yang ‘sok Malaysian’ itu.
Karena melecehkan anak bangsa sendiri.
Ada juga reaksi yang mendoakan agar sang pelayan sadar akan jati dirinya.
Namun, ada hal mendasar yang kurang dielaborasi dari tanggapan yang ada adalah,
‘apakah motivasi sang pelayan memilih menggunakan kata ‘Indon’?
Dalam teori akomodasi komunikasi (Howard Giles, 1973), diungkapkan bahwa
seseorang mengakomodasi perilaku orang lain,
bisa jadi ditujukan agar dirinya diterima atau disukai oleh orang yang ditujunya.
Pilihan lain dari teori akomodasi ini adalah seseorang bersikap berlawanan
dengan orang yang diajak berkomunikasi.
Motif dari tindakan berlawanan tersebut, tentunya juga berkonsekuensi.
Beberapa alternatif yang mungkin terjadi adalah....
Sang pelayan ingin mengambil hati majikannya yang berkebangsaan Malaysia dengan memposisikan diri berpihak pada mereka.
Tujuannya untuk menghindari jarak sosial agar tidak terlalu jauh.
Mungkin juga kejenuhan diperlakukan bagai ‘preman,’ membuatnya bersikap demikian.
Kemungkinan lain adalah sang pelayan tidak tahu arti tersembunyi dari ‘Indon’.
Sungguh semua sisi yang saya pikirkan,
menemukan konteks
‘mengharukan’.
Situasi yang sama pernah saya alami ketika berdiskusi dengan Ani, seorang sahabat.
Ani semula WNI, lalu menjadi warga negara Malaysia.
Berbagai kehangatan diskusi diantara kami berubah
menjadi kegemasan yang menoreh rasa nasionalisme saya ketika Ani mengurai
betapa buruknya perilaku orang Indonesia di Malaysia.
Saya mengajukan dua analisa...
Pertama, sebagai seorang pekerja migran, yang dalam posisi struktur sosial lemah,
perasaan menitipkan diri agar diterima atasan,
cenderung akan muncul.
Tenaga kerja akan berusaha patuh dan menyenangkan atasannya.
Jikapun ada tindakan penyimpangan,
saya rasa perlu dicek lebih cermat apakah tindakan tersebut masuk kategori
pembelaan kemarahan atau murni kejahatan.
Kedua, dari hubungan antara orang tua-anak, murid-guru, hingga atasan-bawahan,
merujuk pada dimensi budaya, budaya Malaysia (dan Slovakia) memiliki jarak paling tinggi.
Hal ini jika dibandingkan dengan 74 negara lain yang diriset oleh Hofstede (2003).
Pada negara berjarak kekuasaan tinggi,
atasan merasa sangat superior dibandingkan bawahan.
Ekspresi tersebut juga tercermin dalam emosi yang menunjukkan perbedaan status.
Hubungan antara anak-anak disebuah keluarga, juga berhierarki.
Anak yang lebih besar biasanya memiliki kekuasaan lebih besar pada adik-adiknya.
Pola ini dilestarikan oleh keluarga, sekolah, tempat kerja dan masyarakat pada umumnya.
Masyarakat dalam jarak kekuasaan rendah (Austria, Denmark, Jerman, Swiss) akan menunjukkan emosi yang meminimalkan perbedaan status.
Indonesia, menempati peringkat ke 16.
Meski sering kita rasakan, atasan orang Indonesia kerap bergaya bossy pada bawahannya.
Bisa dibayangkan bagaimana pola hubungan atasan-bawahan di Malaysia
yang menempati peringkat satu?
merujuk kepada teori akomodasi komunikasi diatas, inilah mungkin alasan mengapa pelayan Indonesia tadi meniru gaya Malaysia (yang kebetulan menjadi atasannya).
Sebuah survival strategi yang mungkin dianggapnya logis, agar diterima dalam lingkungan itu.
Menurut Clifford Geertz,
manusia adalah hewan yang terkurung oleh jaring-jaring makna yang dirajutnya sendiri.
Jaring-jaring tersebut berisi budaya,
dan merupakan software otak manusia.
Barangkali itulah alasan mengapa
seseorang berperilaku meninggikan atau merendahkan diri dan orang lain.
Barangkali kita juga layak berempati pada orang Malaysia,
karena budaya telah mengukungnya sehingga mungkin
secara tidak sadar dia sulit keluar dari aturan yang mengendalikan perilaku dirinya.
Jika pilihan kata tersebut menyakitkan saudara serumpunnya,
mengapa tidak memilih menyelesaikan kata secara lengkap
dengan menyebut ‘Indonesia’ pada orang Indonesia?
Bukankah itu lebih menyejukkan?
Mungkin yang berujar seperti itu adalah
orang Malaysia yang tidak memahami pentingnya empati dalam pergaulan.
Sesungguhnya saya juga punya banyak kenalan dan sahabat orang Malaysia,
Kebanyakan di lingkungan akademis.
Tapi saya tak pernah mendengar ungkapan itu.
Pendidikan memang salah satu fondasi penting
untuk memanusiakan manusia.
No comments:
Post a Comment