http://fc02.deviantart.net/fs70/f/2011/074/8/3/suku_sunda_by_hendywiranata-d3bqu2k.jpg
Oleh: Leila Mona Ganiem
Pikiran Rakyat, 2010
Hidup berpasangan adalah fitrah manusia.
Pertemuan dua bangsa atau suku dalam suatu interaksi sosial memungkinkan terjadinya perkawinan antarbudaya.
Sebagai salah satu provinsi, Jawa Barat memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Berbagai data menunjukkan bahwa banyak pendatang memilih Jawa Barat sebagai tempat hijrah.
Secara budaya, orang Sunda tidak memiliki pembatasan dalam perkawinan (eksogami).
Kecuali larangan untuk tidak menikah dengan saudara kandung.
Orang tua Sunda kerap menyampaikan pada anak-anak mereka,
”Boleh menikah dengan siapa saja, yang penting seiman”.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxNrbUQomADp6xlbJr_5XO3HQykci09MReYwuhWDV3oTpErTvx5SY7_l8xFgthgThmjnNhY9lPbIPHDIPRmJZ0SuCVspujy1qadwxKDNActz_9xYDSeMqxNacW7cerPUJM_kEy/s1600/kerdil.jpg
Meski demikian ada beberapa data mengungkap mitos mengenai larangan perkawinan laki-laki Sunda dengan perempuan Jawa.
Dapat dipastikan, perkawinan orang Sunda-Non Sunda cukup banyak dan berpotensi kian banyak pada masa yang akan datang dengan adanya globalisasi teknologi dan informasi.
http://demetriaburton.efoliomn.com/Uploads/relationship12_float.jpg
Meski dalam hubungan romantis, tiap pasangan kerap menghadapi ketegangan.
Ketegangan tersebut bukan karakter pribadi seseorang, melainkan terjadi secara alamiah.
Sebagai catatan, konflik ada dalam setiap hubungan yang penting dengan adanya interaksi yang terjalin (Baxter dan Montgomery (1998).
http://leapafrica.files.wordpress.com/2014/02/rc.jpg
Konflik kian muncul dengan adanya perbedaan budaya.
Hal ini karena budaya memiliki aturan main masing-masing
Budaya juga memiliki asumsi-asumsi tersembunyi yang diyakini dan kadang hanya dimengerti penganutnya.
Konflik cenderung lebih besar pada pasangan dengan budaya sangat berbeda dibandingkan dengan yang sama (Triandis, 2003).
Hal yang benar dari suatu budaya, bisa jadi merupakan tindakan tidak terpuji bagi budaya lain.
Perbedaan tersebut disebut “jarak budaya”.
Budaya terserap dalam sistem syaraf seseorang sejak kecil.
Budaya dijalankan secara otomatis.
Adanya interaksi pada perkawinan antarbudaya, memungkinkan seseorang kian tergugah kesadarannya mengenai kepemilikan budaya.
http://www.iambetterthanyou.com/wp-content/uploads/shadesfrontcrop.jpg
Masalah terjadi ketika salah satu dari pasangan mempercayai dirinya sebagai tempat berlabuhnya suatu pernilaian.
Aturan budayanya paling baik dan sempurna serta dijadikan standar dalam mengukur budaya pasangan. Padahal budaya tidak dapat dibandingkan (incommensurability).
https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRyUAe7PGM4CqvruXz2m_lumXYfrwVkzs6sPD7efQbK4liIUSBtww
Dari berbagai data disimpulkan, bahwa potensi konflik dalam perkawinan, diantaranya perbedaan selera, kebiasaan, nilai-nilai, temperamen, penghasilan, keyakinan, harapan.
Masalah anak, kehadiran pihak lain, seks, ipar-mertua, komunikasi terbatas, persepsi akan waktu luang, persepsi akan peran jender, tempat tinggal; politik; teman; uang, kelas sosial; agama; cara membesarkan anak; etnosentrisme; sekarang ditambah dengan teknologi seperti FB, twitter, juga berpeluang menjadi konflik.
http://opic.com.au/wp-content/uploads/2012/05/how-to-handle2.jpg
Bagaimana cara seseorang menghadapi konflik?
Menurut Hocker & Wilmot (1995) orang cenderung berkomunikasi dengan cara konsisten.
Beberapa taktik yang secara umum kerap digunakan, adalah:
1) taktik menghindar, 2) taktik kolaboratif, 3) taktik kompetitif dan 4) taktik akomodatif .
http://jeremylightsmith.com/images/tki.png
Dalam suatu riset kualitatif yang pernah saya lakukan terhadap pasangan Sunda-Non Sunda tahun 2006-2007, dapat disimpulkan bahwa pasangan Sunda-non Sunda cenderung dapat menyelesaikan masalah dengan baik.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaToaTnDlcpewgVb8DSDTKIcnvKE5MrdJHVmtqRUA6q48sJM79eCGMGXijlxOrofL0yLCiwhVynMAnYH2TxtIiAuo2Xx8cpl95Vbz6Z3j7UrWHU9j-uicz0jYt4mameGdtxNAg-w/s1600/d0eb9b730575936bc10a470220376d0f.jpg
Umumnya mereka mendiskusikan permasalahan, sehingga keputusan disepakati bersama.
Ketegangan diantara mereka, lebih dipicu masalah budaya, daripada masalah jender.
Isteri bersuku Sunda cenderung berani menyatakan pendapat, mempertahankan keyakinannya dan berdebat dengan cara lebih egaliter pada pasangannya.
Suami Sunda cenderung memberi kesempatan pada isterinya bersama-sama membuat keputusan.
Pada beberapa situasi, suami Sunda mempersilahkan isterinya membuat keputusan.
https://osgapusgov.files.wordpress.com/2012/03/teamwork.jpg
Pasangan Sunda-non Sunda cenderung menggunakan taktik kolaboratif.
Ini adalah taktik yang memperhatikan tujuan masing-masing individu yang terlibat.
Pasangan juga cenderung menyelesaikan konfliknya dengan taktik akomodatif.
Taktik akomodatif menunjukkan bahwa salah satu individu dari pasangan tersebut cenderung mengalah, tidak melawan, kooperatif, mengingkari membutuhkan atau tidak asertif pada kebutuhannya, dan ekspresi keinginan untuk harmoni atau untuk menyenangkan pasangannya.
http://www.boneka.org/wp-content/uploads/2013/10/boneka-couple-penganten-sunda-jawa.jpg
Taktik kompetitif dan menghindar adalah taktik yang jarang digunakan, meski bukan berarti tidak pernah.
Taktik menghindar terkadang digunakan dengan cara pengelakan, perubahan atau menghindari pembahasan topik, tidak berkomitmen dan menggunakan humor sebagai cara untuk tidak menyelesaikan konflik secara langsung.
Bilapun dilakukan, taktik menghindar dilakukan pada hal yang tidak terlalu krusial dalam hubungan mereka.
Atau dapat juga pada permasalahan yang cukup krusial namun telah dibahas dan tidak mudah ditemukan penyelesaiannya.
Taktik kompetitif juga umumnya tidak dilakukan.
Taktik ini menunjukkan kesan agresif, tidak kooperatif atau gaya “kekuasaan diatas”.
Taktik kompetitif dapat dilihat datanya pada pasangan isteri Sunda-suami non-Sunda.
https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTGUq3Dn4gsKP-i73kgdCeomK4Go7E2S9VXnlOkVNRw0FT_2V3o
Sebelum saya akhiri, saya ingin sampaikan bahwa
orang non Sunda yang diriset, diseleksi pada mereka yang telah terekspose oleh budaya Sunda.
Misalnya mereka yang pernah tinggal, bekerja atau sekolah di wilayah Sunda.
Artinya, pada non Sunda yang tidak pernah terekspose budaya Sunda, hasilnya mungkin berbeda.
Secara umum kesimpulan yang ingin saya sampaikan adalah,
Orang bersuku Sunda cukup nyaman dijadikan pasangan terutama berkaitan dengan cara penyelesaian konflik atas perbedaan yang terjadi diantara mereka.
Orang Sunda dalam penelitian ini, cenderung kolaboratif dan akomodatif.
Studi oleh Rochayanti (2007) pada perkawinan antaretnik Sunda-non Sunda
juga menyimpulkan hal senada.
Menurutnya, masing-masing individu dalam pasangan tersebut
berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan adat budaya pasangan.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEqwqx29rsk5MSmT0OsnYHd4Z3EtzF65_EDjlc2gw25sDWMNywNw6yYQ2tK3DCRd5f_iK-pRjR7DgwRwimJPtXPnZQkRLdmmCak0tUXqVMol40-OO6zwIp4eMKbU5oNaAbqKHf/
/101_0065.JPG
No comments:
Post a Comment