oleh: Leila Mona Ganiem
Dahulu,
arus kesibukan perempuan berkisar ‘kasur, pupur, dapur’ atau ‘macak, masak, manak’.
Kita bersyukur ada tokoh pendobrak yang memiliki kepedulian pada emansipasi perempuan.
Kartini, salah satunya.
Sebagai pejuang yang mengagumkan, Kartini layak mendapat tempat.
Pemikiran Kartini banyak dikupas dalam buku
Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang,
kumpulan surat-surat pada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda.
Surat itu adalah bukti betapa besarnya keinginan Kartini melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya.
Ketika berusia 12 tahun, Kartini ditanya oleh teman-teman Belandanya,
“Apa cita-citamu?” Dia tidak bisa menjawab.
Kartini bertanya pada ayah dan kakaknya. “Menjadi isteri bangsawan”, jawab mereka.
Cita-citanya sebatas menjadi isteri pangeran.
Meski anak Bupati, Kartini hanya diizinkan bersekolah hingga sekolah dasar.
Keinginan untuk berbagi ilmu mendorongnya membuat sekolah perempuan di kampungnya.
Untuk meningkatkan kualitas pengajaran, Kartini berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda.
Dia memperoleh beasiswa dari Pemerintah Belanda,
Orang tuanya melarang.
Untuk mencegah kepergian Kartini, orangtuanya memaksa menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati di Rembang.
Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya.
Setelah menikah, dia meneruskan sekolah yang didirikannya.
Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suaminya.
Meskipun saat itu adat feodal masih kental, situasi pingitan dan terisolasi,
Kartini mampu membangun pemikiran yang maju dan progresif untuk kaum perempuan.
Seratus tiga puluh tahun kemudian, banyak perubahan.
Embrio kemajuan yang ditumbuhkan oleh Kartini, telah memetik hasil.
Meski masih banyak keterbatasan dan pembatasan dari pihak yang tidak menginginkan kesetaraan jender, tapi perempuan memiliki kemewahan besar dalam
bersekolah, berkarya dan bermasyarakat.
Penetapan kuota 30% keterwakilan perempuan calon anggota legislatif (caleg),
berkarya sebagai pilot, sopir bus, satpam, insinyur perminyakan, insinyur mesin, insinyur tambang,
bahkan sebagai Direktur Utama Pertamina, posisi yang selama ini bernuansa sangat patriarki.
Sekarang, perempuan telah memiliki beragam peluang berharga.
Apa yang akan dibuat dalam hidup, terserah kita.
Tuhan telah memberi semua sumber daya yang dibutuhkan.
Kaki, tangan, pikiran, keluarga, ruang berkarya, semua tersedia.
Pilihan dan jawaban ada pada diri sendiri.
Meski demikian, perempuan perlu senantiasa mengembangkan diri dengan cara
Pertama, .
Menggali dan menekuni keterampilan yang dimiliki hingga kualitas optimal.
Jadikan kualitas kerja kita dengan kesempurnaan yang membanggakan.
Riset menunjukkan manusia baru mengoptimalkan 3% potensi diri.
Dengan demikian, masih tersedia 97% yang siap untuk dikembangkan.
Kedua,
Meningkatkan kepercayaan diri dan kemauan berfikir besar.
Menjadi lebih maju dan berkembang, lebih sukses dan mandiri, lebih bijaksana dan indah.
Tentukan visi dan dengan tekun meraihnya.
Ketiga,
Visi besar perlu diiringi strategi tepat. Karir dan berumah tangga, adalah pilihan berkonsekuensi. Perlu kedisiplinan, progresif, keberanian, network dan kepribadian yang tangguh. Tanpa upaya, tidak ada perkembangan. Pencapaian visi membutuhkan kebesaran hati menghadapi ketidakpastian.
Keempat,
Evaluasi perkembangan tiap waktu.
Harian, mingguan, bulanan, tahunan dan seterusnya.
Senantiasa berorientasi untuk meningkatkan kualitas pribadi.
Inspirasi Kartini membuka cakrawala berfikir perempuan Indonesia.
Kartini akan bangga menyaksikan buah perjuangannya yang penuh onak duri.
Pengorbanannya telah terbayar dengan sempurna.
Benar jika Hellen Keller mengatakan,
‘Pembentukan karakter tidak dibangun dengan kenyamanan dan kemudahan.
Hanya melalui tempaan dan penderitaan,
jiwa dapat menjadi kuat, ambisi terinspirasi dan keberhasilan diraih’.
Perempuan Indonesia, semua peluang telah tersedia,
negeri ini butuh kualitas indahmu...
No comments:
Post a Comment